ILMU KEBAL Luntur Hilang Akibat Sombong

(kisah nyata)

Pengantar:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Luqman : 18)

Kereta api yang membawa kami dari Stasiun Pasar Senen Jakarta sudah sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya Jawa Timur dengan selamat pada hari Sabtu, 21 Desember 2013 pukul 07.15 wib. Alhamdulillah.

“Jangan lupa pak, kalau urusannya sudah selesai tolong mampir kerumah saya ya…” pinta Pak Jn kepadaku saat keluar dari pintu stasiun.

Pak Jn adalah warga Surabaya yang baru saja aku kenal saat kami berada di kereta api yang duduknya persis di depanku. Saat kami masih di kereta api, Pak Jn banyak bercerita kepadaku dan juga banyak berdiskusi denganku tentang berbagai topik. Pak Jn bertanya maksud kepergianku ke Surabaya, setelah aku jelaskan ternyata membuat dia tertarik, oleh karena itu dia mengundang aku dan teman seperjalananku untuk mampir kerumah Pak Jn.

“Insya Allah pak….” jawabku.

“Rumah saya diseberang jalan stasiun Pasar Turi pak….” jelas Pak Jn kepadaku.

Setelah saling mengucapkan salam, lalu kamipun berpisah menuju tujuan masing2.

Ferdi Ps Turi

Ust. Ahmad Ferdi Bin Ibrohim Ilyas

*****
Kepergianku ke Surabaya dalam rangka memenuhi permintaan Pak En yang meminta tolong padaku untuk mengobati saudaranya yang sedang sakit. Menurut keterangan Pak En saudaranya itu sudah lama menderita sakit yang belum juga sembuh. Sudah berobat pada sekian rumah sakit dan beberapa orang yang ahli dalam bidang pengobatan tetapi belum juga menunjukkan indikasi kesembuhan. Karena didasari ingin beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta ingin saling menolong kepada sesama, maka akupun mengiyakan saja permintaannya Pak En.

*****
Singkatnya, pengobatan yang aku berikan pada saudaranya Pak En pun sudah selesai, dan dengan ijin Allah saudaranya Pak En pun merasakan ada perubahan dari penderitaan sakitnya. Semoga saja perubahan itu menyebabkan dia menuju pada proses kesembuhan. Pertolonganku pada saudaranya Pak En hanya sebatas berdoa pada Allah dan mengobati saja, sedangkan kesembuhannya adalah hak mutlak Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Karena judul kisah nyata ini menceritakan tentang ilmu kebal, maka kisah tentang pengobatan pada saudaranya Pak En tidak aku uraikan lebih rinci. Itu semua semata-mata hanya untuk menghemat ruangan saja.

*****
Syahdan, akupun bersama Pak En pergi menuju rumah Pak Jn. Betul saja, ternyata kami tidak terlalu susah untuk menemui rumahnya.

“Assalaamu’alaikum….” aku memberi salam saat persis di depan rumah Pak Jn.

“Wa’alaikum salaaam…..” jawab seseorang dari dalam rumah Pak Jn.

“Oooooh….Pak Ferdi, Pak En…..monggo pak silahkan masuk….” sambut Pak Jn kepada kami dengan logat Surabaya-nya yang khas. Rupanya Pak Jn sudah menginformasikan akan kedatangan kami pada keluarganya, terbukti istrinya ikut menerima kami dan berbasa-basi seperti sudah saling kenal pada kami.

Aku dan Pak En segera duduk dikursi tamu setelah Pak Jn mempersilahkan kami untuk duduk. Tidak lama kemudian suguhan hidanganpun dikeluarkan oleh istrinya Pak Jn sambil meminta kami untuk segera mencicipi hidangan khas Surabaya.

“Gimana Pak Ferdi, apakah sudah selesai mengobati saudaranya Pak En…?” tanya Pak Jn membuka perbincangan.

“Alahmdulillah sudah selesai, makanya kami datang kerumah bapak untuk menunaikan janji kami pada bapak” jawabku. Pak Jn tersenyum kecil, seperti isyarat ikut gembira dengan pengobatan yang sudah aku lakukan pada saudaranya Pak En.

Saat sedang asyik2nya kami beramah tamah, tiba2 datanglah seorang lelaki masuk kerumah Pak Jn. Dia bertegur sapa dengan Pak Jn menggunakan bahasa Surabaya. Bila disimak dari pembicaraan mereka, sepertinya mereka sudah saling kenal lama. Mereka sangat akrab sekali.

Tanpa sengaja aku sekilas melihat dibalik baju tamu yang baru datang itu, dibelakang pinggang dia seperti ada terselip benda yang mirip dengan sebuah senjata. Sepertinya sebuah golok, hatiku menduga-duga.

“O..ya bapak2, kenalkan ini teman saya, adik seperguruan saya di perguruan X…(sebut saja begitu) ” lanjut Pak Jn memperkenalkan lelaki itu.

Kamipun bersalaman, saling mengenalkan diri masing2. Aku merasakan ada sedikit getaran yang tidak biasa, bahkan nyaris terasa aneh saat bersalaman dengan lelaki itu.

Lelaki itu bernama Shd, usianya aku perkirakan sekitar 35 tahun. Shd berpostur kurus, tinggi tapi kekar. Rambutnya agak gondrong sedikit. Dilihat dari raut wajahnya, nampaknya dia lelaki yang bertemperamen. Nada bicaranya terkesan sebagai orang yang sering mendapat perhatian dari orang lain. Setidaknya perasaan segan mungkin ada jika seseorang sedang berbicara dengan dia. Usia Pak Jn aku perkirakan sekitar 58 tahun, pantaslah bila Pak Jn menyebut Shd sebagai adik seperguruannya.

Sekian menit lamanya kamipun larut dalam obrolan2 yang membuat kami bertambah akrab. Ditengah-tengah kami larut dengan obrolan, Shd mengambil benda yang ditaruh dibelakang badannya. Betul saja dugaanku, ternyata benda itu adalah sebuah golok. Secara zhohir golok itu sangat indah, putih mengkilap dan tajam. Aku jadi teringat dengan golok2 yang dimiliki oleh para jawara2 seperti yang pernah aku lihat dalam film-film action Indonesia.

Setelah mengeluarkan golok dari sarungnya, Shd berdemontrasi. Dia bacok2 dan iris-iris tangannya dengan golok miliknya itu. Aku agak sedikit kagum sekaligus terheran-heran. Apa maksud Shd ini beratraksi demikian.

Golok yang membacok dan mengiris-iris tangannya itu tidak meninggalkan bekas, dia tidak luka sedikitpun. Shd ternyata punya ilmu kebal.

“Maaf pak, hati2 nanti tangan bapak bisa tembus….” sergahku dengan reflek.
Shd menghentikan atraksinya. Dia memandangku dengan mimik yang tidak bersahabat.

“Bapak jangan menganggap saya remeh ya….” jawab Shd dengan suara sedikit tinggi.

“Diperguruan kami atraksi yang seperti ini sudah tidak aneh lagi. Atraksi seperti ini sudah menjadi kegiatan setiap hari, bahkan yang lebih dari inipun sudah sering kami lakukan….” tambah Shd sedikit membagakan perguruannya sambil terus beratraksi dengan ilmu kebalnya.

“Jangan salah paham, saya tidak meremehkan bapak, saya sekedar mengingatkan saja agar bapak berhati-hati dengan golok itu….” naluriahku mendorong untuk menjawab seperti itu.

“Lho, emang kenapa?”

“Saya khawatir golok itu dapat menembus kulit bapak…” jelasku.

Shd tidak memperdulikan pada rasa kekhawatiranku, dia terus beratraksi dengan golok miliknya, bahkan kini lebih ekstrim lagi. Dia iris2 tengkuk lehernya, dia iris perutnya. Shd masih kebal. Aku pura2 tidak memperhatikan atraksinya itu. Sikap acuh tak acuhku itu hanya sekedar memberikan kesan bahwa aku tidak respek padanya. Aku tidak tertarik dengan atraksinya. Aku tidak tertarik pada ilmu kebalnya.

Benakku jadi berandai-andai. Ya, andaikan saja atraksinya Shd ini dilakukan dihadapan seseorang yang mempunyai ilmu dan kemampuan melebihi dari dia, lalu orang itu merasa tidak berkenan dihatinya dengan atraksi Shd, maka bukan tidak mungkin Shd akan “dikerjai” secara diam2 oleh orang yang memiliki kelebihan dari dia. Akibatnyapun tentu saja dapat diperkirakan: jebol pertahanan dia. Luntur ilmu kebalnya dia.

Sedang asyiknya aku berdiskusi dengan hatiku, tiba2 aku dikejutkan dengan pertanyaan Shd yang bernada sinis. Pertanyaan Shd seperti menyelidik tentang keberadaanku di Surabaya, khususnya tentang keberadaanku di rumahnya Pak Jn. Aku ingin menjawab pertanyaannya, tapi sudah didahului oleh penjelasan Pak Jn. Akupun mengurungkan menjawab pertanyaan Shd.

“Oh jadi bapak bisa mengobati orang sakit ya ? Sakit apa saja yang bisa bapak obati, belajarnya dengan siapa dan dimana tho pak….?” lanjut Shd dengan pertanyaan yang beruntun.

Aku jawab apa adanya, bahwa aku hanya bisa mengobati beberapa penyakit saja, bahkan itupun hanya sebatas mengobati dan berdoa saja, tidak lebih dari itu. Ayahku almarhum adalah guruku, sanad keguruanku bermuara pada Abah Syaki lalu ke Abah Toha.

“Jadi, sampeyan orang A.H ya….?” mimik Shd dengan sedikit membelalakan kedua matanya.

“Iya, betul…..” jawabku dengan jujur.

“Kalau begitu kebetulan pak…..”

“Maksudnya, kebetulan apa pak….?” tanyaku ingin tahu.

Shd lalu menjelaskan maksud pertanyaannya itu dengan sangat bersemangat. Dalam penjelasan Shd itu, telingaku sangat jelas menangkap bahwa dia, dan teman seperguruannya, gurunya bahkan mungkin seluruh orang yang belajar di perguruannya dia sangat antipati terhadap aku yang belajar keilmuan di A.H. Begitulah isyarat sensitifku yang aku dapati.

“Saya dan teman2 seperguran saya sangat tidak suka dengan keilmuan A.H….” ujar Shd dengan ketus yang membuat dugaanku mendekati benar.

“Sesuai dengan penjelasan dan arahan dari guru besar kami, bahwa kami diperintahkan untuk menghentikan langkah2 A.H yang kami anggap salah dan tidak benar….!” Shd semakin bersemangat saja disertai dengan vonis2nya yang ekstrim, vonis sepihak, khususnya padaku.

Shd bermaksud ingin mencabut dan menghilangkan semua keilmuan A.H yang sudah lama aku pelajari. Mendengar ucapan Shd yang disampaikan itu, dan tanpa ragu2 sedikitpun, posisiku seperti berada pada suatu sudut yang tidak punya pilihan lain kecuali hanya menyetujui saja dengan niatnya itu.

“Baik, kalau begitu tunggu sebentar. Saya ingin menelpon guru saya, dan meminta agar dia bisa datang ke sini !” Shd tambah semangat dengan niatnya. Aku belum mengerti maksud dan arti ucapan Shd yang akan meminta gurunya untuk datang kerumah Pak Jn.

Sekali lagi, aku hanya bisa menyetujui saja permintaan Shd agar aku mau menunggu kedatangan guru besarnya.

Shd lalu menelpon guru besarnya. Dia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Surabaya. Secara rinci aku tidak paham dan mengerti apa yang sudah mereka bicarakan. Namun secara global, aku agak sedikit memahami, bahwa intinya Shd meminta agar guru besarnya segera datang kerumah Jn karena ada orang yang akan menjadi obyek obsesinya terhadap keilmuan yang mereka anggap bertentangan, bersebrangan dengan keilmuan yang sudah mereka pelajari.

Selang beberapa menit setelah Shd menelpon guru besarnya, aku mendengar suara seseorang mengucapkan salam.

“Assalaaamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salaaaam….” jawab kami berbarengan.

“Monggo Mbah….silahkan masuk….” pinta Pak Jn kepada seorang lelaki yang dipanggilnya dengan Mbah.
Lelaki yang dipanggil Mbah itu aku perikirakan usianya sekitar 77 tahun. Dia datang bersama seorang wanita, usianya aku perkirakan sekitar 45 tahun. Setelah mereka masuk dan duduk, Pak Jn memperkenalkan mereka kepada aku dan Pak En.

“Perkenalkan, ini Mbah Opg guru besar saya. Dan ini istri beliau, Ibu Sm….” begitu penjelasan Pak Jn pada kami. Pak Jn memberi informasi kepada kami, bahwa rumahnya Mbah Opg ini hanya berjarak tiga rumah saja dari rumahnya Pak Jn. Pantas saja, Mbah Opg dan istrinya ini sampai di rumahnya Pak Jn terbilang sangat cepat.

Kamipun bersalaman dan saling memperkenalkan diri masing2. Seperti halnya saat aku bersalaman dengan Shd, maka saat aku bersalaman dengan Mbah Opg pun aku merasakan lagi suatu getaran yang asing. Getaran yang mengindikasikan telah terisinya tubuh Mbah Opg dengan suatu aura keilmuan. Dari sekian kali aku berlatih getaran, lama2 aku jadi paham dengan beberapa jenis getaran2. Diantaranya getaran yang mengindikasikan seseorang itu berilmu atau tidak. Bila getaran yang aku rasakan itu berkategori baik, berarti orang itu mempunyai ilmu yang baik. Begitu juga bila getarannya berkategori tidak baik, berati orang itu mempunyai ilmu yang tidak baik pula. Semua itu hanya menurutku saja berdasarkan kebiasaan yang sering aku latih. Getaran yang aku rasakan dari tangannya Mbah Opg termasuk dalam kategori aura keilmuan yang jelek, ilmu yang salah bahkan mungkin sesat. Setidaknya begitulah menurut penafsiranku.

Mbah Opg mengambil tempat duduk persis didepanku. Dia keluarkan sebuah golok dari balik bajunya kemudian ditaruhnya di atas meja. Ibu Sm, istrinya masuk kedalam rumah untuk menemui istrinya Pak Jn. Dia memulai pembicaraan pada kami dengan obrolan santai, dia ceritakan kondisi kota Surabaya sesuai dengan apa yang bisa dilihat dan dirasa oleh panca indra. Sesekali dia selingi dengan obrolan lucu yang memancing tawa. Saat tertawa lebar, aku lihat gigi2nya Mbah Opg ternyata sudah banyak yang tanggal. Walaupun giginya sudah banyak yang ompong, tapi Mbah Opg tidak merasa rikuh sedikitpun. Kami merasakan keakraban sudah mulai merebak di dalam hati kami masing2.

Setelah puas dengan obrolan santainya, Mbah Opg beralih ke obrolan yang agak serius. Dia memilih topik obrolan tentang eksistensi dirinya dan perguruannya. Dia mengatakan, bahwa ilmu yang sudah dia miliki memang harus demikian, harus dicoba, bila perlu setiap hari beratraksi.

“Kawasan di sini kawasan yang keras, Pak. Itulah sebabnya mengapa kami senang memamerkan ilmu kebal kami kepada setiap orang yang kami jumpai….” ucapan Mbah Opg ini aku maknai mungkin karena Pak Shd sudah memberikan informasi tentang atraksinya yang aku larang.

Sepintas dalam pemahamanku, ucapan Mbah Opg ini terkesan membenarkan apa2 yang sudah dilakukan oleh Shd, muridnya.

Jujur saja, seandainya aku dibolehkan untuk memberikan pendapat terhadap uraian Mbah Opg itu, maka menurut hematku semua itu adalah cerminan dari orang yang sombong.

Sebenarnya aku sudah agak bosan mendengarkan ucapan2 Mbah Opg yang menceritakan kehebatan dan kelebihan ilmu kebalnya.

“Mohon maaf Mbah, saya pernah dengar dari orang2 bahwa ada sebuah pepatah bunyinya kurang lebih seperti inii: Dia atas langit masih ada langit…” kataku memotong uraian Mbah Opg.

“Apa maksud ucapan sampeyan….?” tanya Mbah Opg kepadaku dengan membelalakan kedua matanya.

“Untuk arti yang sebenarnya saya belum tahu persis…”

“Kalau begitu tolong jelaskan menurut pengertian sampeyan….!”

“Begini, saya mohon maaf ya Mbah kalau ucapan saya nanti tidak berkenan dihati Mbah dan hati2nya orang yang berada di rumah ini. Pepatah tadi menurut pengertian saya kurang lebih seperti ini: jika seseorang merasa hebat dan berilmu tinggi, sebaiknya dia rendah hati. Sebab diakui atau tidak, disadari atau tidak, karena sebenarnya masih ada orang lain yang mempunyai ilmu yang melebihi dari keilmuan orang itu…” jawabku yang membuat Mbah Opg merubah sedikit posisi duduknya.

“Nah, kalau saya diperkenankan untuk memberikan saran, sebaiknya ilmu kebal yang sudah Mbah dan murid2 mbah miliki itu tidak usah dipamer-pamerkan di depan orang lain. Menurut saya atraksi pamer itu tidak ada gunanya, karena terkesan sombong, dan hanya akan memancing orang lain untuk menjajalnya. Andaikan saja kita mau merenungi falsafah padi, tentu kita akan rendah hati, artinya semakin berisi, semakin merunduk…..”

Mendengar penjelasanku itu, ternyata membuat Mbah Opg, Pak Shd, Pak Jn dan Ibu Sm jadi emosi.
Dugaanku ini bukan cuma isapan jempol belaka, bukan pula su’uzhon (berprasangka tidak baik). Getar rasa sensitifkulah yang mengantarkan aku menduga demikian. Secara perlahan kini aku sudah merasakan adanya aura tidak baik, bahkan seperti tidak bersahabat.

Segera aku berdoa pada Allah Swt agar aku dan Pak En diberi keselamatan oleh Allah dari “arena” yang sudah tidak kondusif ini. Aura panas sudah mulai menyebar.

“Apakah orang yang seperti sampeyan maksudkan itu ada ? Siapa ? Dimana orangnya ?” tanya Mbah Opg seperti geram. Aku mencoba untuk tenang, tidak emosi.

“Jika dihubungkan dengan pepatah tadi, kemungkinan besar ada Mbah….apalagi bila mau dicari…”
“Kalau begitu, mari kita cari bersama, dan tolong tunjukkan orangnya….!” potong Pak Shd seperti tidak puas dengan jawabanku.

Belum sempat aku menjawab, dia lanjutkan lagi dengan pertanyaan:

“O ya, sampeyan tadi menjelaskan bahwa sampeyan sudah belajar keilmuan A.H, apakah sampeyan mau menjajal kami…?”

Aku tetap tenang, tidak mau terpancing oleh pertanyaan Pak Shd yang seperti menuduh.

“Saya tidak ada maksud sedikitpun untuk menjajal bapak2 semua…” jawabku datar untuk menurunkan ketegangan.

Mendengar jawabanku demikian, tidak membuat mereka jadi reda, bahkan justru seperti makin terbakar rasa penasaran dan emosinya. Aku mencoba untuk tetap tenang. Jujur saja, sebenarnya aku tidak mau melayani mereka yang kini mulai menunjukkan watak dan temperamennya masing2. Aku beranggapan bahwa bila aku menimpali perdebatan ini hanya akan membuang-buang energi saja, mubazir. Untuk meredam emosi mereka maka akupun menawarkan pada mereka agar perdebatan ini sebaiknya di hentikan saja, tapi pihak Mbah Opg tidak mau menerima usulan itu. Aku tetap didesak agar meneruskan perdebatan ini sampai ada salah satu pihak yang mau menerima “kekalahannya”.
Dengan segala resiko yang siap akan aku terima, aku putuskan tidak akan melayani dan merespon setiap pertanyaan dari mereka yang aku prediksi hanya akan menjadikan perdebatan ini semakin panas.

“Kalau sampeyan tidak mau melayani kami, sekarang kami ajak sampeyan untuk mengadu ilmu kita masing2……” ujar Pak Shd bernada nantang padaku.

“Saya belum paham maksud bapak….” jawabku hanya sekedar ingin tahu saja maksud ucapannya.

“Langsung saja pak, sekarang kita mencoba dan mengadu keilmuan kita masing2. Kita secara bergantian akan mencabut ilmu masing2. Teknisnya, pertama saya akan mencabut ilmu sampeyan, setelah itu sampeyan mencabut ilmu saya. Gimana, mau….?”

Oooo…rupanya inilah yang dimaksudkan oleh mereka sebagai “pihak yang menerima kekalahan”.

Aku tidak menjawab pertanyaan dan tantangan Pak Shd. Aku masih mencoba untuk tetap tenang, tidak emosi. Aku mencoba kilas balik maksud dari pertemuan ini, bukankah kedatanganku kesini karena kami diundang oleh Pak Jn untuk menambah persaudaraan agar lebih akrab lagi. Selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi ajang ukhuwah sesama muslim, lalu kenapa niat yang baik dan mulia ini harus diisi dengan arena mengadu keilmuan yang berujung pada saling mencabut ilmu?

Pak Shd yang didukung oleh Mbah Opg terus mencecar aku dengan pertanyaan dan tantangannya yang aku anggap seperti orang yang kebakaran jenggot. Disaat yang genting dan darurat seperti ini, tiba2 aku jadi teringat pada wejangan almarhum ayahku, guruku:

MUSUH JANGAN DICARI
BILA BERTEMU JANGAN LARI
LU JUAL, GUE BELI

Spontan aku menerima tantangan dari Pak Shd:

“Baik pak, bila keinginan bapak itu adalah jalan yang terbaik menurut bapak2, maka tidak ada pilihan lain bagi saya selain menerima tantangan bapak….” jawabku dengan intonasi lembut.

Akhirnya ajang pencabutan keilmuan kamipun disepakati dan siap dilakukan setelah mereka menerangkan teknisnya.

Sesi pertama, aku yang akan dicabut ilmunya oleh mereka. Sesuai arahan dari mereka, akupun duduk di lantai dengan menghadap kearah mereka. Setelah mereka selesai dalam konsentrasinya dan berdoa lalu:

“Hup…!” Pak Shd dengan action yang mantap mencabut ilmuku. Dia terpental dan terguling kebelakang.

Pencabutan pertama ini mungkin dianggap gagal oleh Pak Shd, lalu diapun bangun, mencoba cabut lagi ilmuku. Dia terpental lagi, terguling lagi kebelakang. Setelah tiga kali dia mengalami reaksi yang sama, seperti diberi komando, Pak Jn pun maju untuk mencabut ilmuku. Gagal. Reaksi yang didapati sama persis dengan reaksi yang dialami oleh Pak Shd. Setelah tiga kali gagal, akhirnya Mbah Opg yang turun tangan untuk mencabut ilmuku. Aku masih duduk di lantai, tenang, pasrah dan Tawakkal pada Allah Swt.

“Hup…!” Mbah Opg pun mengalami reaksi yang sama dengan kedua muridnya. Sama dengan para muridnya, Mbah Opg pun sudah tiga kali gagal untuk mencabut ilmuku. Rupanya mereka masih penasaran, akirnya merekapun melakukan kerjasama. Mereka mengeroyok aku. Mereka membentuk formasi, salah satu tangan mereka saling berpegangan, kemudian secara bersamaan mereka kembali mencoba mencabut ilmuku.

“Hup…!” reaksinya yang diterima tetap sama, mereka terpental dan terguling lagi kebelakang.

“Hugh….berat sekali pak, kami tidak bisa mencabut ilmu bapak….” ujar Pak Shd dengan nafas tersengal.

“Iya pak, berat dan susah sekali mencabutnya….” timpal Pak Jn dengan nafas yang tersengal pula.

Aku hanya percaya saja dengan pengakuan mereka. Aku beranggapan mereka jujur dengan pengakuannya. Aku membaca istighfar dan ta’wudz berulang kali. Aku khawatir sifat sombong dan ujub akan menyelinap kedalam hatiku.

Sekian menit berlalu, dan sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, lalu sesi keduapun dijalani: aku dipersilahkan oleh mereka untuk mencabut ilmu mereka. Aku menolak permintaan mereka.

“Kenapa, apakah sampeyan takut, tidak bisa…?” tanya Pak Shd.

“Bukan begitu, saya tidak ingin merusak jalinan silaturahmi kita ini….”

“O begitu, tapi bukan berarti sampeyan pecundang kan…?”

Aku terkejut, karena penolakanku itu malah ditafsirkan demikian.

“Bukankah kita tadi sudah sepakat, mengapa sekarang sampeyan tidak mau untuk mencabut ilmu kami ? Saya jadi curiga, jangan2 keilmuan A.H itu hanya aktif jika dikandang sendiri” ucapan Pak Shd yang didukung oleh Mbah Opg dan Pak Jn ini membuat aku jadi tambah ingat dengan wejangan almarhum ayahku, guruku.

MUSUH JANGAN DICARI
BILA BERTEMU JANGAN LARI
LU JUAL, GUE BELI

“Baik, karena bapak2 memaksa, sekarang saya akan coba untuk mencabut ilmu bapak2. Siapa yang pertama kali mau dicabut ?”

“Saya“ sahut Pak Shd dengan nada tinggi.

“Jangan, saya saja !” potong Mbah Opg seperti membanggakan dirinya sebagai seorang guru besar kedua muridnya itu.

Mbah Opg pun mengambil posisi seperti yang sudah aku lakukan saat tadi mereka mencoba cabut ilmuku. Aku konsentrasi sebentar lalu berdoa pada Allah Swt. Aku minta pada Allah agar dengan Kekuasaan-NYA, Ridho- NYA dan Ijin-NYA agar aku diberikan kemudahan untuk mencabut ilmu2 mereka sesuai dengan permintaan mereka.

Aku baca beberapa ayat2 Al Qur’an yang sudah aku hafal, aku pegang pundak Mbah Opg:

“Bismillaaah….” aku cabut ilmu kebal Mbah Opg. Dia bereaksi seperti orang yang bingung, wajahnya agak sedikit berubah.

“Sudah pak…?” tanya Mbah Opg kepadaku.

“Sudah….” jawabku.

“Cuma begitu aja….?”

“Ya….”

“Apakah sudah tercabut ilmu saya?” tanya Mbah Opg penasaran.

“Insya Allah sudah tercabut…”

“Saya tidak percaya, coba sekarang cabut ilmu saya….” pinta Pak Shd seperti menantang.

“Saya juga minta dicabut ilmu saya” kata Pak Jn.

Aku turuti permintaan mereka. Aku cabut ilmu mereka dengan cara seperti yang sudah aku lakukan terhadap Mbah Opg. Dan, seperti halnya Mbah Opg, merekapun bereaksi seperti yang dirasakan oleh guru besarnya itu.

“Saya tidak percaya, akan saya buktikan” ujar Pak Shd sambil mengambil golok miliknya dan mengeluarkan dari sarungnya.

“Maaf pak, jangan pakai golok !” sergahku.

“Emang kenapa? Saya tidak takut, pakai apapun saya tidak takut….silahkan sampeyan pilih, pakai golok ini apa pakai pisau ini?” jawab Pak Shd menantang sambil mengeluarkan pisau tajamnya yang berukuran sedang.

“Ya, pakai pisau itu aja pak….”

“Boleh !” jawab Pak Shd dengan mantap. Dia langsung ambil posisi duduk, kepalanya ditundukkan sedikit.

“Silahkan iris dan potong leher saya !” pintanya kepada Pak Jn tanpa ragu sedikitpun.
Pak Jn pun langsung mengiris lehernya Pak Shd, dan….

“Cres !” leher Pak Shd teriris, darah segar keluar dari bekas irisan pisaunya. Luka irisan itu sekitar sekitar 10 cm.

Melihat Pak Shd dalam kondisi demikian, semuanya panik, terutama Mbah Opg guru besarnya. Istri pak Jn teriak. Rumah Pak Jn jadi gaduh dengan suara2 kepanikan mereka. Para tetangga Pak Jn pun berdatangan, mereka ingin tahu penyebab kegaduhan. Darah segar masih keluar dari leher Pak Shd, wajahnya sekarang agak pucat.

Mbah Opg dan Pak Jn yang semula berniat pula untuk membuktikan tentang ilmu kebalnya yang aku jelaskan sudah hilang, akhirnya diurungkan setelah melihat kenyataan yang dialami oleh Pak Shd.

“Ada apa ini….?” tanya seorang anggota polisi yang kebetulan sedang lewat melintas di depan rumah Pak Jn.

“Anu pak, kecelakaan….” jawab istri Pak Jn sedikit gemetar.

“Kalau begitu cepat dibawa ke rumah sakit terdekat !” saran pak polisi dengan bijakasana.

Akhirnya, Pak Shd dengan diantar oleh Mbah Opg, Ibu Sm dan Pak Jn dibawa ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan sepeda motor.

*****
Setelah mereka pergi ke rumah sakit, waktu Ashar sudah masuk, aku ingin sholat. Istri Pak Jn memberi saran agar aku sholat Ashar dirumah dia saja. Akupun sholat Ashar berjamaah dengan Pak En dan keluarganya Pak Jn.

Selesai sholat aku dzikiran, membaca wirid yang sudah biasa aku lakukan. Selama wiridan aku jadi teringat pada Pak Shd, semoga luka sayatan di leher Pak Shd tidak parah, sehingga pihak rumah sakit tidak mengalami kesulitan untuk menangani dan mengobatinya, begitu doaku untuknya.

Belum selesai aku wiridan, Mbah Opg, Ibu Sm dan Pak Jn pun sudah kembali. Mereka mencari keberadaanku pada istri Pak Jn yang dijawabnya bahwa aku sedang berada dikamar yang dirancang untuk ruangan sholat.

“Assalaaamu’alaikum….” Mbah Opg memberi salam. Secara bersamaan aku dan Pak En menjawab salam dia.

“Bagaimana Mbah tentang penangan terhadap Pak Shd, apakah lancar2 saja…?”

“Semula memang agak sulit karena darah terus mengalir dari lehernya Shd, tapi para petugas medis bekerja dengan cekatan sehingga dapat ditangani dengn baik dan lancar. Shd mendapatkan 26 jahitan”

Hatiku berkata, andaikan saja Pak Jn saat mengiris lehernya Pak Shd tadi dia mengeluarkan tenaga yang agak keras sedikit, aku tidak bisa membayangkan resiko yang harus dialami oleh Pak Shd.
Saat aku masih merenung, tiba2 Mbah Opg bertanya yang membuat buyar semua lamunanku terhadp Pak Shd.

“Bagaimana ini pak, apakah benar ilmu kebal kami sudah tercabut semuanya…?” tanya Mbah Opg seperti belum percaya dengan kenyataan yang sudah dilihatnya.

“Insya Allah sudah Mbah….” jawabku.

“Termasuk ilmu kebal saya ?” tanya Pak Jn padaku.

“Ya, Insya Allah sudah tercabut….”

“Tolong kembalikan lagi ilmu kebal kami, pak…” pinta Mbah Opg.

“Mmmm….mohon maaf, saya tidak bisa Mbah…..”

“Pak, padahal ilmu itu saya dapatkan melalui ritual yang cukup berat. Saya puasa selama 41 hari tanpa putus seharipun, ditambah dengan dzikiran sekian ratus kali…..” lanjut Mbah Opg mengeluh.

“Itulah maksud saya Mbah, agar kita mengamalkan falsafah ilmu padi…..”

Mbah Opg dan Pak Jn tidak merespon ucapanku tadi, mungkin mereka masih terobsesi dengan kepemilikan ilmu kebalnya.

“Untuk mengembalikan ilmu kami itu apakah ada caranya….?” tanya Mbah Opg seperti orang awam yang baru pertama kali mempelajari suatu keilmuan, khususnya ilmu kebal.

“Jalan satu2nya Mbah mesti belajar lagi ke guru Mbah….”

Perbincangan kami yang diisi dengan diskusi diruang tempat sholat rumahnya Pak Jn cukup lama, dan berakhir ketika aku dan Pak En berpamitan. Sebelum aku pergi dari rumah Pak Jn, aku tidak lupa meminta maaf kepada mereka bila kunjungan kami tidak berkenan dihati mereka.

Aku berharap semoga bisa berjumpa lagi di lain kesempatan.

Saat aku berjalan mencari angkutan umum, tiba2 aku jadi teringat pada firman Allah Swt di dalam AL Qur’an surat Luqman ayat 18

وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin Ya Robbal’alamin.

*Kisah ini diceritakan secara langsung oleh Ust. Ahmad Ferdi Bin Ibrohim Ilyas kepada Ust. Djonaka Ahmad.

Ngelmu 10 Tahun Lenyap Dalam Waktu 10 Menit

Atas permintaan H. Syahril, 68 tahun, yang tinggal di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur, aku dan Tim-ku datang ke rumahnya.  Keluarga Pak Syahril sering mengalami gangguan mahluk halus, konon menurut dia;  anak, mantu, cucu dan bahkan rumah mereka  sering mengalami hal-hal yang sulit diterima akal. Mereka sering mengalami gangguan mahluk ghoib, baik secara fisik  maupun secara psikis, terutama Helmi, 27 tahun, anak bungsunya yang sudah beristri dan beranak 2 itu acapkali membuat kesal keluarga besar Pak Syahril. Betapa tidak? bila Helmi sedang marah tidak ada satu keluarganya pun yang berani menghadapinya.  Helmi berpostur tinggi, badan kekar, kuat dan… matanya  NANAR, MENCOROT TAJAM BERWARNA MERAH yang semakin membuat takut keluarganya. Ternyata semua itu karena Helmi selama nyantri di daerah Jawa Barat belajar NGELMU selama 10 tahun pada seseorang.

Kami memberikan penjelasan, bahwa penyebab seseorang bisa demikian (seperti Helmi) banyak faktornya, diantaranya adalah karena NGELMU yang tidak benar, alias ngelmu jelek, ngelmu hitam. Atau ngelmunya itu kecampuran dan  kemasukan jin, baik jin islam atau kafir.

Aku dengan Tim-ku menawarkan pada Helmi untuk mencabut dan menghilangkan ilmunya, dia menolak. Kami tidak memaksanya tapi hanya berusaha memberikan penjelasan padanya, bahwa ilmu yang jelek, atau ilmu hitam, sangat berbahaya bagi manusia, terutama bagi  pemiliknya,  apalagi saat pemiliknya akan meninggal dunia, saat itulah ilmu yang jelek akan berperan aktif untuk menggelincirkan manusia. Dikhawatirkan si pemilik ilmu jelek (ilmu hitam) itu akan meninggal tidak beriman, tidak sebagai muslim, atau wafat dengan SU’UL KHOTIMAH (mati yang jelek). Berarti dia meninggal dalam keadaan ingkar (kufur). Dan yang lebih mengkhawatirkannya lagi bila orang itu meninggal dalam keadaan musyrik. Bila seseorang meninggal dunianya  dalam kondisi demikian, maka ancaman Allah Swt sudah pasti :

 

WALLADZIINA KAFARUU WAKADZ-DZABUU BI-AAYATINAA ULAAIKA ASH-HABUL JAHIIM

“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka” (AL Qur’an Surat Al Maidah : 10)

 

INNALLADZIINYA KAFARUU MIN AHLIL KITAABI WAL MUSYRIKIINA FII NAARI JAHANNAMA KHOOLIDIINA FIIHAA, ULAAIKA HUM SYARRUL BARIIYYAH

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (Al Qur’an Surat Al Bayyinah : 6)

Na’udzubillaahi min dzaalik !

Penyebab NGELMU itu jadi jelek (jadi ilmu BATHIL), bermacam-macam faktornya, diantaranya mungkin saat masa proses belajar dan mengajar yang: salah tata caranya, salah saat pengijazahannya, salah  niatnya, salah ritualnya dsb. Atau mungkin juga gurunya itu sendiri yang salah, sehingga si murid pun jadi salah pula ketika mendapatkan ilmu yang dipelajarinya. Dan masih banyak lagi penyebabnya.

Yang kami khawatirkan, apabila ilmu itu menjadi jelek karena disebabkan  bercampurnya para jin, baik jin islam apalagi kafir, karena para jin itu yang akan membuat SENGSARA pemilik ilmu jelek itu.

Setelah Pak Syahril, Bu Syahril, kakak dan  istri Helmi membujuk,  merayu dan mengingatkannya, akhirnya Helmi luluh juga hatinya, dia mau untuk kami cabut dan buang ilmu jeleknya itu.

Alhamdulillah…dakwah kami untuk saat itu dapat diterima oleh Helmi, setidaknya dalam kasus ilmunya Helmi yang kami anggap jelek itu.

Aku bersama Tim-ku mempersiapkan diri untuk mengobati Helmi dengan cara MERUQYAH-nya. Aku bersama Tim-ku mengambil air wudhu, begitu juga Helmi aku minta agar dia mengambil air wudhu.

Helmi aku minta agar duduk yang tenang menghadap Qiblat, pasrah dan ikhlaskan diri saat menjalani pengobatan ini.  Aku duduk berhadapan dengan Helmi. Aku berdoa pada Allah Swt agar aku bersama Tim-ku diberikan kekuatan dan kemampuan dalam mengobati Helmi, dan semoga ayat-ayat Al Qur’an  yang akan aku baca mendapat RIDHO dan IJIN dari Allah Swt. Semoga Helmi akan disembuhkan oleh Allah Swt semua penyakitnya, baik yang  zhohir maupun bathin.

Aku membaca ta’wudz:

“A’udzu billaahi minasy syaitoonir rojiim…….” tiba-tiba Helmi bangun dari duduknya, dan dia langsung pergi. Kabur meninggalkan kami. Aku lihat kedua telinga Helmi  ditutup oleh kedua telapak tangannya. Semua yang berada disitu terkejut, terutama Pak Syahir, Bu Syahril dan istrinya Helmi.

“Helmi…mau kemana…?” tanya Pak Syahril sambil berteriak. Helmi tidak menjawab, dia terus pergi meninggalkan kami.

Istri Helmi dengan segera mengejar suaminya. Tidak berapa lama Helmi datang lagi bersama istrinya. Aku lihat wajah Helmi mengeluarkan keringat, mungkin dia habis berlari, atau dia takut pada cara pengobatan ruqyah ini. Aku tidak tahu pasti penyebabnya.

Setelah agak tenang dan semua anggota keluarga Pak Syahril membujuk dan menasehati Helmi, akhirnya dia mau lagi kami obati dengan cara meruqyahnya.

Aku teruskan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an yang terhenti tadi. Kali ini Helmi agak tenang meskipun keringatnya bertambah banyak yang keluar, bahkan sekarang yang keluar malah dari seluruh anggota tubuhnya. Baju Helmi basah. Giginya gemeretak hebat, badannya menggigil, dan tiba-tiba Helmi berdiri, tubuhnya bergerak seperti melakukan gerakan silat. Entah apa nama aliran silatnya itu, aku tidak paham.

Helmi semakin bereaksi kuat. Aku bersama Tim-ku pun ikut berdiri menenangkan dan mengobati Helmi yang semakin brutal dan ganas.

Akhirnya Helmi dapat kami TENANGKAN.

“Bila mau dicabut ilmunya, saya minta kamu tenang dan IKHLAS. Mau..? tanyaku pada Helmi.

Dia mengangguk. Karena sudah berkondisi demikian, maka aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi pembacaan ayat-ayat Al Qur’an itu. Kami langsung saja mencabut ilmunya Helmi. Kami mulai dari arah kepala menuju kearah kaki. Baru sampai pada lehenya, Helmi meronta-ronta, sepertinya  dia dan ilmunya itu tidak mau kami cabut.

“Coba tolong tenang….ikhlaskan hati kamu untuk kami cabut ilmu kamu. Kami sudah dapat memastikan bahwa ilmu yang kamu pelajari itu adalah ilmu yang salah, ilmu yang jelek, ilmu yang bathil……” kataku mengingatkan Helmi. Dia diam saja. Matanya terpejam rapat. Mulutnya menyembur air ludah  kecil. Keringatnya semakin banyak yang keluar.

Keluarga Helmi ikut pula mengingatkan Helmi, agar hatinya ikhlash  saat proses pencabutan ilmunya. Mereka rupanya sudah mengerti dan sepaham dengan kami, bahwa ilmu Helmi itu adalah salah, jelek dan bathil. Keluarga Helmi hanya berasumsi saja, andaikan ilmu yang telah dipelajari oleh Helmi itu  ilmu HAQ, mengapa saat di ruqyah Helmi menjadi gelisah dan kabur dari tempat pengobatan.  Secara logika, mana mungkin orang yang mempunyai ilmu haq takut dan kabur saat dibacakan ayat-ayat Al Qur’an. Mana mungkin seorang Helmi yang sudah bertahun-tahun sekolah di pesantren TAKUT pada pembacaan ayat-ayat Al Qur’an yang mulia itu? Bukankah dia dipesantren sudah biasa dan terbiasa membaca dan menghapal Al Qur’an? Bukankah ayat-ayat al Qur’an yang dibacakan oleh aku tadi sudah dia hapal dan dia pahami?

Helmi tidak menjawab, dia hanya menganggukkan kepalanya saja.

Setelah Helmi betul-betul tenang, tidak meronta-ronta lagi, maka kami melanjutkan proses pencabutan dan pembuangan ilmu Helmi. Kami berkeyakinan bahwa kali ini Helmi betul-betul telah ikhlash untuk kami cabut dan kami buang ilmu bathilnya itu. Terbukti dia diam saja, tidak melawan, tidak meronta, bahkan tidak bergerak apapun yang membuat kami sedikit terganggu pada proses pencabutan ilmu ini. Dan….

“LAAILAAHA ILLALLOOOH !” kataku sambil mengencangkan perut mencabut ilmunya Helmi mulai dari atas kepala sampai kebawah, kekakinya Helmi.

Seketika itu juga Helmi lemah,lemas, lunglai dan….BRUUUK… dia jatuh kelantai. Untung Tim-ku cekatan, mereka spontan memegangi Helmi sehingga jatuhnya Helmi tidak berdampak parah.

Aku bersama Tim-ku bersyukur pada Allah Swt yang telah memberikan kami kekuatan dan kemampuan dalam proses pencabutan ilmu bathilnya Helmi.

Keluarga Helmi pun demikian, mereka berbarengan mengucapkan : ALHAMDULILLAAAH….!

Aku lihat arlojiku menunjukkan angka : 10.35 wib. Berarti sepuluh menit kami mencabut ilmu bathilnya Helmi. Aku ingat betul, sebab sebelum kami mencabut ilmu Helmi itu aku tanpa sengaja melihat jarum jam di arloji menunjukkan pada angka : 10.25 wib.

Aku hanya berandai saja, kalau saja Helmi saat dicabut ilmu bathilnya itu dia tenang, ikhlash, pasrah mungkin aku dan Tim-ku tidak membutuhkan waktu 10 menit. Allohu’alam.

***

Saking gembiranya keluarga Pak Syahril,  mereka memberikan kami santap siang. Alhamdulillaaah…

Selesai santap siang bersama, aku lihat Helmi sedang asyik berbicara dengan Ust. Ahmad Ferdi, anak guruku yang sekarang menjadi penerus Ayahnya (Alm. Ust. Ibrohim Ilyas) untuk menyebarkan, mensyiarkan ilmu Al Hikmah dalam rangka berdakwah BIL HAL melalui jalur ilmu Al Hikmah, diantara pembicaraan mereka itu, telingaku menangkap dengan jelas ucapan Helmi pada Ust. Ahmad Ferdi :

“Wah kok badan saya jadi lemes, lunglai begini ya Pak setelah tim bapak mencabut ilmu saya….padahal ilmu yang saya pelajari itu dari orang-orang yang mumpuni…ritualnya pun susah, saya  puasa, bahkan saya puasa mutih 10 hari dan saya lakukan berkali-kali….Belum lagi sholat malam, dzikiran…dan semua itu saya lakukan demi MENUNTUT ILMU. Saya rela melakukannya demi menjalankan perintah dari guru spiritual saya. Wah….SELAMA 10 TAHUN saya menuntut ilmu ternyata hilangnya cuma sebentar saja….”

Aku tersenyum mendengar pengakuan Helmi yang polos itu, bukan senyuman bangga, ujub atau pun riya, tapi karena pengakuan Helmi yang jujur dan polos itulah yang membuatku tersenyum. Sebab ada juga beberapa orang yang telah kami tangani dengan kasus yang mirip dan serupa dengan Helmi, namun mereka tidak pernah mengaku seperti pengkuan Helmi.

Andaikan pengakuan Helmi itu benar, maka aku bersyukur pada Allah Swt, sebab kami yakin seyakin-yakinnya, bahwa semua yang telah kami perbuat terhadap Helmi, khususnya, semua itu  semata-mata karena  adanya KEKUASAAN ALLAH, KEBESARAN ALLAH dan mendapatkan KERIDHOAN dari-NYA saat kami menangani Helmi. Kami ini sebenarnya tidak punya apa-apa, bahkan ilmu kami pun sebenarnya hanya sedikit saja yang telah Allah Swt berikan kepada kami.

Aku jadi teringat pada ucapan Malaikat yang Allah abadikan di Al Qur’an:

 

“Mereka (para Malaikat) menjawab: Maha Suci  Engkau (Ya Allah), tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .” (Al Qur’an surat Al Baqoroh : 32)

 

(UST. DJONAKA AHMAD & UST.  AHMAD FERDI)

Ruko Dijual Selalu Batal Meski Sudah Deal

(kisah nyata)

Dengan semangat yang dibakar optimis, Bapak Fm didampingi istri dan anaknya sampai juga datang kerumahku setelah satu minggu yang lalu ia memberikan kabar dan berjanji bahwa mereka akan datang kerumahku. Bapak Fm berdomisili di Cibitung Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Rencananya ia mau datang pada hari Minggu, tapi karena urgent, maka ia berusaha untuk datang pada hari Sabtu, 7 Februari 2015. Mereka tiba dirumahku ba’da zhuhur.

Pak Fm datang kerumahku membawa sebungkus tanah dan sebotol air sesuai yang aku sarankan kepadanya. Tanah dan air itu ia ambil dari rukonya yang mau dijual. Menurut Pak Fm, ruko itu sudah lama mau dijual, tapi selalu batal meski sudah sama2 deal saat negosiasi dengan calon pembelinya. Bukan hanya sekali kejadian itu, tapi berulangkali. Pak Fm jadi bingung, kenapa selalu demikian fakta yang ia alami.

Bapak Fm punya rencana bila rukonya sudah laku dijual, uangnya akan ia pakai untuk modal wiraswastanya yang sekarang sedang pailit. Bangkrut. Padahal dahulu usahanya sangat maju, income perusahaannya sangat menggembirakan. Namun pada akhir tahun 2013 entah apa sebabnya, tiba2 perusahaan Pak Fm merosot tajam. Order sudah tidak ada lagi. Sementara gaji pegawainya harus tetap diberikan. Akhirnya perusahaan Pak Fm lambat laun tutup karena pailit. Karena itulah, rukonya yang sekarang ditutup ini akan dijual. Uang penjualannya akan ia pakai selain untuk modal baru, juga akan dipakai untuk membayar dan melunasi hutang2nya. Cukup banyak pak hutang2 saya, begitu pengakuan Pak Fm padaku.

Saat pertama kali perusahaannya menunjukkan gejala tidak sehat, naluri bisnis Pak Fm belum terbuka, sehingga ia tidak sensitif. Ia masih menganggapnya hanya sebagai sebab akibat saja. Alami. Tapi ketika perusahaannya semakin dirasa terpuruk, ia mulai sadar, bahkan berubah menjadi panik.
Berulangkali ia mencoba instropeksi, namun tidak pernah menemui permasalahan yang sebenarnya, sehingga sulit bagi dia untuk mencari solusi. Saat keruwetan semakin menggerogoti pikirannya, Pak Fm tiba2 ada niatan untuk menunaikan umroh bersama istrinya. Niat itupun dimantapkan, dan pada bulan September 2014 mereka menunaikan umroh.

Ketika sedang menunaikan umroh, Pak Fm dan istrinya memanfaatkan kesempatan yang mulia ini, mereka sering berdoa dan mengadu pada Allah Swt, Tuhan Yang Maha Baik, Maha Penerima Segala Macam Keluhan dan Rintihan hamba NYA, dan akhirnya doa merekapun dikabulkan oleh Allah Swt. Pak Fm dan istrinya secara tanpa disadari mendapat ilham, bahwa penyebab perusahaannya bangkrut adalah karena mereka terlanjur “cinta” pada seseorang yang diyakininya sebagai manusia “hebat”. Sengaja aku tidak menjelaskan maksud kata “cinta” dan kata “hebat”, hal tersebut aku maksudkan agar aku tidak dianggap sebagai penyebar fitnah dan penyebar ghibah.

Pak Fm Pak Fm saat selesai menunaikan umroh

*****

Seminggu yang lalu aku pernah melihat foto rukonya Pak Fm. Secara zhohir, ruko itu bagus, enak dipandang, nyaman dan cocok dipakai untuk berwiraswasta. Ruko itu sangat cocok jika dijadikan sebagai tempat usaha, penuh prospek dan sangat menjanjikan. Tapi secara bathin, pendekatan melalui dunia ghoib, ternyata ruko itu bermasalah.

“Ada jinnya pak, di halaman parkir, ruang teras, ruang kerja karyawan, ruang tempat duduk Pak Fm, anak tangga dan ruangan yang lainnya…” begitulah penjelasan anak perempuanku yang telah diberikan anugerah oleh Allah bisa melihat dunia astral, alam makhluq ghaib, alam jin.

Pak Fm kaget, tidak percaya dengan informasi dari anak perempuanku. Aku bersikap netral saja. Adalah hal yang wajar2 saja bila seseorang yang bertemu pertama kali dengan kami, lalu ngobrol tentang keberadaan makhluq ghoib yang berada di rumah, kantor, area kebun dan sebagainya. Apalagi tempat2 tersebut adalah miliknya, sudah pasti orang tersebut tidak percaya pada kami.

Komentarku?

Ah, biasa2 saja. Aku tidak pernah memaksakan seseorang untuk percaya pada apa yang telah dilihat oleh anak perempuanku tentang keberadaan makhluq ghoib.

“Masalahnya pak, sebulan yang lalu ruko saya itu sudah dibersihkan oleh seseorang yang saya anggap sebagai orang pintar. Dia bilang ruko saya sudah bersih dari keberadaan makhluq ghoib….” begitu pembelaan Pak Fm.

Aku diam, belum merespon sanggahan Pak Fm. Aku masih mencerna ucapan Pak Fm yang mempergunakan istilah “orang pintar”.

Aku belum tahu persis apa yang dimaksud oleh Pak Fm dengan “orang pintar”. Menurutku istilah itu sangat multitafsir. Orang pintar itu menurut hematku sangat relatif. Belum baku.

Coba saja perhatikan, seseorang yang pandai dengan sepak bola, maka ia layak dianggap sebagai “orang pintar” dalam bermain sepak bola. Demikian juga jika seseorang pintar dalam bidang lainnya, maka merekapun pantas disebut sebagai orang pintar. Bermacam-macam istilah orang pintar, ada yang pintar berolah raga, pintar main musik, pintar main silat dsb.

Semoga saja istilah “orang pintar” dari Pak Fm bukanlah yang dimaksud dengan orang yang pintar berbohong, pintar menipu, pintar memeras, pintar mencari kesempatan dalam kesempitan, pintar berkelit dan pintar2 negatif lainnya.

Setelah Pak Fm bercerita cukup panjang, lalu aku memberi tanggapan:

“Yang bilang ruko bapak itu sudah bersih itu kan baru menurut dia saja….” kataku dengan datar. Untuk kasus seperti ini, biasanya aku mengadakan deteksi sebagai pembuktian kepada orang2 yang berprinsip dan berpendapat seperti Pak Fm. Dan kepada Pak Fm pun aku melakukan hal yang sama, pembuktian !
“Iya pak, rasanya hangat. Tapi kok lama2 jadi panas ya…Ada juga seperti aliran listrik yang menyengat kecil di telapak tangan saya…” ujar Pak Fm ketika aku mengadakan pembuktian padanya. Pembuktian ini bisa dilakukan ditempat lokasi, dan bisa juga berada jauh dari lokasi yang akan dideteksi. Pak Fm melakukan pendeteksiannya di rumahku, sedang lokasi rukonya berada di kawasan Cibitung, Bekasi.

Mungkinkah? Mungkin saja.

Aku berprinsip dan berkeyakinan, bahwa bila Allah Menghendaki dan Mengijinkan, tidak ada yang mustahil.

Metode pembuktian itu sangat sederhana. Caranya, aku meminta pada Pak Fm agar menghadapkan telapak tangannya ke arah rukonya dia. Lalu aku menginformasikan, yah, sekedar informasi semata, apakah ada suatu perbedaan ditelapak tangannya saat sebelum dan sedang melakukan pendektesian. Itu saja, dan bila kali pertama dia belum merasakan apa2, bagiku tidak apa2. Berdasarkan fakta dilapangan, seringkali orang2 sulit merasakan perbedaan rasa, dan seperti biasanya maka aku memberikan pemahaman tentang bukti rasa pendektesian itu seperti ini:

“Bila tidak atau belum merasakan sesuatu di telapak tangan, yah sudah gak apa2 kok. Jangan dipaksakan ada….” kataku untuk menghargai dan menghormati sifat kesensitifan seseorang tentang keberadaan makhluq ghoib.

Aku tidak pernah mendikte seseorang agar mereka percaya saja pada apa2 yang sudah kami informasikan. Aku tidak pernah memaksa rasa sensitif seseorang yang beraneka ragam. Ada yang sensitif, ada yang tidak. Ada pula yang lambat merasakan sesuatu yang asing dan aneh dari aura keberadaan makhluq ghoib sesudah sekian kali melakukan pendektesian.

Ada juga yang tidak “ngeh”, padahal sebenarnya ia sudah merasakan perbedaan itu, tapi karena belum terbiasa dilatih, seolah-olah rasa itu bukanlah akibat dari aura makhluq ghaib. Bagiku hal itu adalah wajar2 saja. Aku tidak pernah kesinggung, apalagi marah2 pada mereka. Memangnya apa hak dan wewenangku pada mereka kalau aku marah2 ? Memangnya aku ini siapa dan apa nya mereka ? Apalagi pada mereka yang sangat anti dan membenci padaku, pada tim ku tentunya aku merasa akan lebih bijaksana kalau kami tidak melayani pendapat mereka. Berdiam diri adalah sikap yang paling baik, setidaknya menurut pendapat kami. Kami tidak perlu emosi dan juga tidak perlu memberikan komentar apalagi mendebat. Sebab, jangankan masalah dunia ghoib, dunia astral, alam jin, pada dunia nyata saja banyak yang tidak sepaham dan sepengertian.

“Solusinya gimana nih Pak…” tanya Pak Fm padaku, seperti panik. Belum sempat aku menjawab, Pak Fm menyambung lagi:

“Pak, apakah bapak bisa menolong dan membantu saya untuk membersihkan ruko saya…?” pinta Pak Fm setelah pembuktian dan pendektesian selesai.

“Insya Allah…” jawabku disertai penjelasan bahwa aku dan anakku hanya bisa membantu dan menolong dia dalam bentuk doa saja. Tidak lebih dari itu. Masalah berhasil atau tidaknya aku untuk membersihkan rukonya dari aura negatif makhluq ghoib, semua itu aku pasrahkan pada Allh Swt. Harapanku tentunya doaku dikabulkan oleh Allah, dan bila tidak dikabulkan, tentu aku harus ikhlash menerimanya. Prinsip itu aku dasari karena aku sebenarnya tidak mempunyai kelebihan seperti apa yang dia duga. Aku hanya manusia biasa saja seperti dia. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya anggapan dia saja.

Setelah memberikan penjelasan yang cukup, akhirnya aku bersama anak perempuanku segera action : membersihkan ruko Pak Fm dari pengaruh aura negatif yang berasal dari makhluq ghoib.
Saat melakukan pembersihan itu, aku tidak memerlukan bantuan media apapun, seperti benda2 pusaka, batu akik, jimat, kembang, kemenyan, rokok, lisong, telur, pendupaan, ayam hitam (cemani), ayam putih, dsb seperti yang pernah dilakukan oleh mereka para praktisi pengobatan alternatif yang pernah aku lihat di TV.

Aku dan Tim ku memang sejak dari dulu sampai sekarang, bahkan untuk selamanya, tidak pernah menggunakan media2 yang aku tuliskan tadi. Aku dan Tim ku bila ingin melakukan pertolongan pada masalah sejenis ini, selalu berpegang pada jalur yang kami anggap haq, baik, benar, tepat sesuai dengan pelajaran Tauhid dan Aqidah sebagai umat Muslim. Kami hanya berdoa pada Allah Swt, karena kami sangat membutuhkan Pertolongan dan Bantuan dari DIA, Allah Swt. Tuhan yang tidak pernah membuat susah pada hamba NYA bila kita meminta dan memohon bantuan dan pertolongan dari NYA.
Allah tidak pernah memberikan syarat yang susah kepada hamba NYA bila hamba tersebut memerlukan bantuan dan pertolongan NYA.

Allah tidak pernah memberikan syarat bahwa bila manusia ingin meminta pertolongan dan bantuan NYA harus memakasi syarat2 seperti media2 yang aku tulis di atas. Waduh, jika demikian adanya, kasihan sekali bagi mereka yang tidak mempunyai benda2 media tadi. Benda2 tersebut pada umumnya bisa didapat dan dimiliki setelah dibarter (menurut istilah dari sebagian orang adalah dengan cara diberikan mahar dengan sejumlah uang), lalu bagaimana kalau orang tersebut tidak mempunyai uang? Kok repot amat sih untuk meminta pertolongan pada Tuhan, mungkin begitulah “komplain” yang keluar dari mulut mereka.

Jika dikembalikan pada ajaran Keimanan dan Tauhid, sampai sejauh ini aku belum pernah menemukan suatu buku atau dalil yang mengajarkan dan memerintahkan hal2 tersebut. Entahlah kalau buku2 tersebut berasal dari luar pelajaran agama Islam, aku belum pernah membacanya.

Jadi, menurut pemahaman dan keyakinan yang aku dapat dari guru2 di pengajianku, bahwa Allah tidak mensyaratkan seperti itu, DIA hanya meminta pada hamba NYA semaksimal mungkin untuk taqwa, dalam pengertian menjalankan perintah NYA dan menjauhkan semua larangan NYA.

Aku sadar, bahwa aku memang belumlah berlaku sebagai seorang insan muttaqin secara kaffah, secara total, namun setidaknya aku sudah berusaha semaksimal mungkin menuju kearah definisi taqwa. Artinya, seseorang itu tidaklah harus betul2 menjadi orang yang bertaqwa dengan sempurna baru boleh menolong sesama manusia. Bila memang demikian mafhumnya (pengertiannya), maka tidak akan ada lagi anjuran amar ma’ruf nahi mungkar. Aku jadi teringat pada Sabda Nabi Muhammad Saw:

“Kullu Bani Adam khotto’un’, wa khoirul khottoina attawaabun”

Setiap anak cucu Nabi Adam (manusia) pasti pernah berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah yang bertaubat. (HR. At Tirmizi & Ibnu Majah)

Lalu ? Ya, sudah semestinyalah aku harus tetap berusaha agar hatiku selalu dipenuhi oleh keyakinan pada Allah, bahwa DIA pasti akan membantu dan menolong aku. Allah Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Bijaksana dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kembali pada topik pembersihan ruko Pak Fm. Aku konsentrasi sebentar agar tenang. Aku berdoa pada Allah Swt, Pak Fm dan istrinya mengaminkan. Keluargakupun ikut juga mengaminkan doa2ku. Aku tetap berkonsentrasi, aku terus berdzikir pada Allah Swt, berdoa kepada Allah agar DIA memberikan aku kemudahan, kekuatan dan kemampuan agar bisa membersihkan aura negatif makhluq ghoib yang ada di rukonya Pak Fm. Sekian menitpun berlalu.

“Sudah bersih pak…” kata anak perempuanku setelah aku selesai melakukan pembersihan rukonya Pak Fm.

Percayakah Pak Fm pada ku? Pada anak perempuanku?

Tentu saja tidak langsung percaya.

Dia tidak akan mudah percaya pada kami seperti semudah membalikkan telapak tangan. Dan, andaikan Pak Fm dan istrinya tidak percaya padaku, maka mereka adalah orang yang kesekian puluh kalinya sebagai orang2 yang tidak percaya pada kami, khususnya dibidang pembersihan aura negatif makhluq ghoib, apalagi pembersihannya dari jarak jauh, dari rumahku, sedangkan ruko Pak Fm berada di Cibitung, Bekasi. Memang lumayan jauh jaraknya, apalagi aku membersihkannya hanya melalui foto.

Tidak percaya ? tidak apa2, manusiawi kok.

Aku tidak pernah kesal apalagi marah pada mereka yang tidak percaya dengan hal2 yang pernah aku lakukan meski itu berdampak pencibiran pada diriku. Bahkan mungkin ada yang bersungut tajam kepadaku dengan disertai ungkapan yang tidak bersahabat. Sekali lagi, tidak apa2. Aku menerima kok jika ada umpatan2 yang keluar dari siapapun dia.

Untuk menjaga keharmonisan antara aku dengan Pak Fm yang sudah sedemikian baik walau kami belum lama berkenalan, maka aku segera melakukan hal yang pernah kami lakukan, yaitu PEMBUKTIAN dan PENDETEKSIAN ulang seperti sebelum aku membersihkan ruko Pak Fm.
Pak Fm dan istrinya menyetujui apa yang aku usulkan. Mereka ingin bukti dengan cara pendektesian seperti yang sudah kami lakukan.

“Ya pak, sekarang saya tidak merasakan apa2 lagi seperti sebelum rukonya dibersihkan…” jawab Pak Fm saat aku tanya berulangkali tentang reaksi rasa di telapak tangannya. Semoga pengakuan Pak Fm jujur, bukan mengada-ada, atau sekedar menyenangkan diriku dan anak perempuanku saja.

Karena kami sudah merasa yakin bahwa ruko Pak Fm sudah bersih dari aura negatif makhluq ghoib, maka langkah selanjutnya adalah menangani ruko Pak Fm agar bisa laku dijual. Pak Fm dan istrinya setuju dengan langkah ini. Sebelumnya aku tidak lupa memagari dahulu ruko Pak Fm dengan pagaran ghoib, harapanku tentu saja ruko Pak Fm tidak akan ada lagi makhluq ghoib yang datang dan mengganggu. Kalau masih ada lagi yang datang, berati permasalahannya kembali ketitik awal.

“Baiklah, karena ruko itu milik bapak, dan bapak pula yang paling paham dan mengerti pada substansi permasahan yang sedang dihadapi, maka menurut saya sebaiknya bapak saja yang berdoa pada Allah. Doa2 yang bapak panjatkan tentu akan lebih mengena dan afdhol jika dibandingkan dengan doa2 saya. Rasa ikhlas dan pasrah bapak kepada Allah lebih tulus jika dibandingkan dengan saya. Oleh karenanya, saya cukup mengaminkan saja doa2 bapak….” begitu penjelasan dan permintaanku pada Pak Fm. Bapak Fm dan istrinyapun mengerti dan paham apa yang aku maksudkan.

Setelah aku berikan penjelasan tentang adab dan tata cara berdoa kepada Allah, sesuai dengan tuntunan dari Nabi Muhammad Saw berdasarkan pengetahuan yang aku dapatkan dari pelajaran mengaji dari beberapa guruku, Pak Fm pun lalu berdoa kepada Allah dengan sepuas hatinya. Tanpa ragu, tanpa malu, ia berdoa kepada Allah sesuai kata hatinya yang paling dalam. Dalam doanya ia mengadu pada Allah akan perilakunya dimasa lalu. Sebuah pengakuan yang tulus dan murni dari seorang hamba yang pernah berbuat diluar batas2 koridor tuntuan agama. Doanya begitu mengharu biru, aku dan keluargaku merinding mendengarnya. Kami terus mengaminkan doa2nya Pak Fm yang agak lama dan panjang itu.

Setelah Pak Fm selesai berdoa, lalu aku menambahkan hal2 yang perlu aku sampaikan:

“Selanjutnya mari kita membaca Sholawat kepada Nabi Muhammad Saw (mohon maaf sengaja aku rahasiakan nama sholawatnya, agar tidak terjadi salah persepsi) sejumlah 41 kali. Setelah itu kita tiup di tanah dan air yang diambil dari ruko bapak. Semoga dengan keberkahan dari Sholawat yang kita baca nanti, maksud dan hajat bapak dikabulkan oleh Allah Swt….” begitu penjelasanku pada Pak Fm. Dan semuapun mengaminkan apa2 yang aku sampaikan tadi.

“Tanah dan air yang sudah dibacakan Sholawat ini, saya harap langsung ditaruh ditempat ruko bapak, jangan ditunda-tunda sampai besok…” pintaku yang langsung dipahami oleh Pak Fm.

“Dan nanti malam setelah bapak sampai dirumah, ba’da sholat Isya saya harap bapak beserta keluarga membaca lagi sholawat ini sebanyak 41 kali. Jangan lupa berdoa dahulu pada Allah sebelum membaca sholawatnya….” kataku lagi menjelaskan.

“Pembacaan sholawat ini jangan hanya karena bapak dan ibu ada maksud seperti ini saja, tetapi lakukan berulangkali. Andaikan nanti Allah kabulkan doa bapak, artinya ruko bapak sudah laku terjual, saya harap sholawat ini tetap bapak baca….” Pak Fm dan istrinya mengangguk.

“Untuk mengiringi doa2 bapak, agar cepat sampai pada Allah, dan tentu saja sesuai dengan harapan kita bersama, agar Allah mengabulkan doa2 bapak, maka saya anjurkan agar bapak memberikan shodaqoh dalam bentuk uang tunai kepada anak2 yatim/piatu yang berada disekitar lingkungan rumah bapak. Nominalnya terserah bapak saja, yang penting ikhlas. Tapi ingat, janganlah disertai dengan permintaan bantuan doa dari mereka akan maksud dan niat bapak memberikan shadoqoh itu. Artinya, janganlah bapak membebani mereka dengan cara minta didoakan oleh mereka agar ruko bapak cepat laku. Kalau niat mau shodaqoh, ya shodaqoh saja, tidak perlu meminta balasan imbal balik, walaupun itu hanya sebuah doa…” penjelasanku ini hampir saja membuat Pak Fm dan istrinya terkejut.

Aku memberikan pengertian, bahwa kata “membebani” mereka itu mengindikasikan pemahaman yang tersyirat akan adanya suatu “paksaan” kepada seseorang, dalam hal ini kepada anak2 yatim/piatu. Yang lebih membuat kerdil lagi adalah rasa dan sifat sosial serta kemanusiaan kita ternyata berlatar belakang hawa nafsu pribadi. Tanpa disadari ternyata sifat egois pada kebendaan itu justru menjadi kendali pemberian shodaqoh. Oleh sebab nafsu yang mengendalikan, maka permintaan doa kepada anak yatim/piatu pun menjadi sesuatu yang wajib bagi mereka.

Andaikan pendekatan matematik diajukan, maka uang shadaqoh kita itu sungguh sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan ketulusan dari doanya seseorang. Sungguh suatu beban yang sangat berat harus ditanggung oleh bocah2 lugu dan lucu apabila mereka belum berdoa untuk kita.

Dari uraian singkat itu, maka aku memahami semua itu adalah sebagai suatu pembebanan terhadap orang2 yang sudah diberikan shodaqoh. Dan pemahaman terbaliknya, maka shodaqoh itu, bisa “dipastikan” belum tentu kita berikan kepada seseorang bila kita tidak mempunyai hajat atau maksud pribadi.

Pak Fm dan istrinya mengangguk. Sekilas aku perhatikan wajah mereka, sepertinya mereka baru sadar dari “kesalahannya” selama ini.

“Dulupun kami sudah sering bershodaqoh kepada anak yatim/piatu, tetapi kami selalu meminta doa kepada mereka agar hajat kami, terutama menjual ruko, cepat laku terjual….” begitu ucapan Pak Fm padaku. Sebuah pengakuan yang jujur, pengakuan yang bernada menghakimi diri sendiri dari seorang Pak Fm setelah mendengar uraian pendapat pribadiku tadi yang sebenarnya masih sangat jauh dari benar, karena di dalam pendapatku itu masih ada celah untuk didiskusikan ataupun disanggah.
Aku berikan penjelasan kepada Pak Fm dan istrinya sesuai pengetahuanku yang sedikit ini, bahwa meminta doa pada orang lain itu sangat baik bahkan dianjurkan oleh syariat agama. Namun bila doa itu dikaitkan dengan pemberian shodaqoh kita kepada mereka, hanya karena kita ada hajat pribadi, aku menafsirkannya sebagai shodaqoh yang “setengah ikhlash”. Aku hanya khawatir, bahwa bila hal itu dilakukan oleh seseorang akan berdampak pada penerjemahan yang ekstrim. Shodaqoh yang seperti demikian itu akan memberi ruang pada penafsiran sebagai suatu ibadah yang meminta balasannya dari selain Allah. Semoga saja rasa khawatirku tidak terjadi pada diri Pak Fm dan istrinya.

“Kegembiraan anak2 yatim/piatu karena menerima shodaqoh, bukan tidak mungkin rasa gembira mereka itu Allah jadikan sebagai doa yang tulus dan murni dari mereka kepada kita….”. begItulah pemahamanku.

Pak Fm dan istrinya mengangguk. Dari raut wajah mereka, aku hanya berasumsi, bahwa ucapanku itu sepertinya dianggap sebagai sebuah pemahaman dan wawasan yang baru.

Aku jelaskan, bahwa pemahamanku ini tidak perlu didiskusikan apalagi didebat. Sebab semua itu hanya sekedar pemahaman pribadiku saja. Aku sadar, bahwa orang lain belum tentu mau menerima dan menyetujui pemahamanku ini. Yah tidak apa2, masing2 orang bebas menentukan pendapat dan prinsipnya, asalkan tidak menyimpang dari keimanan pada Allah.

Pak Fm dan istrinya menarik napas dalam2. Aku tidak mengerti maksud dari tarikan napas mereka.
Setelah sekian jam berlalu, arena diskusipun akhirnya berhenti dengan ditandai oleh permintaan pamit pulang oleh Pak Fm dan istrinya. Aku tentu saja mengijinkannya.

*****

Hari Senin, 9 Februari 2015 jam 10.30 wib Pak Fm mengirim SMS padaku, isinya seperti ini:

“Aslm wwb, Pa kabar Pak Djonaka, maaf mau tanya klu smp hr ke-3 tdk ada perkembangan kapan sy bs balik lg k rumh bpk. trims” begitu SMS Pak Fm yang membuat aku “merinding” membacanya.

Betapa tidak, isi SMS itu seolah menggiring aku jadi beranggapan pada Pak Fm, bahwa aku ini dianggap oleh Pak Fm, seolah-olah sebagai orang yang “hebat” dan “super” dimata Pak Fm, terutama dalam hal memberikan pertolongan kepadanya. Kalau saja dia mau sedikit menyimak dan mengingat kembali isi perbincangan dan diskusi kami saat dia datang kerumahku, aku rasa dia tidak akan mengirim SMS seperti itu. SMS itu sepertinya bernada komplain kepadaku. Hm.

“Wa’alaikm slm wrwb. Sbnrnya secara aqidah sy tdk bs memastikan brp hr ruko bpk akan laku terjual, tp secara syariat, mk kalo blm laku jg smp 3 hr, slhkn bpk dtg lg kermh sy hr Sabtu bsk jam 10an pagi ya,..tp sih smg ruko bpk sdh laku terjual sblm hr sabtu bsk deh, mk kita hrs sabar dan jgn putus asa. Ada hikmahnya kok utk kita dibalik mslh ini…” begitulah SMS balasanku kepada Pak Fm.

“iyaaaa pak klu bpk tdk keberatan kami akan dtg lg kerumah bapak sebab perkembangan ruko smp hr ke 3 blm ada perkembangannya” begitu SMS balasan Pak Fm padaku.

“iya, slhkn dtg hr sabtu bsk deh, sbb kalo di hr kerja, sy tdk bs pak, mhn maklum ya…” jawabku.
“Ngga apa2 pak iyaa nti hr sabtu sy dtg trims” balas Pak Fm.

Aku termenung setelah selesai SMS an dengan Pak Fm. Apa lagi yang harus aku jelaskan kepada Pak Fm, bahwa aku ini sebenarnya bukanlah orang yang hebat. Aku bukanlah orang yang segala-galanya. Aku ini bukanlah orang seperti yang ada dalam benaknya. Aku merenung, apakah Pak Fm menganggap aku seperti anggapan orang kebanyakan kepada para pelaku praktisi altenatif? Ah, sudahlah. Aku tidak ingin memperpanjang renunganku. Cukup sampai disini saja renungan kegelisahanku.

*****

Hari Selasa malam Rabu, 10 Februari 2015 jam 20.29 wib, HP ku berbunyi dengan nada pilihan, ya nada itu aku pilih sebagai perbedaan antara dering telpon masuk dan nada dering SMS masuk. Aku segera membuka HP ku dan membaca SMS yang masuk:

“Aslm wwb pak mdh2n dlm keadaan sehat Yaaa Td sore br ada yang liat ruko saya Dia minat. dan mau rundingan malam ini besok pagi keputusan dgn harganya. Bantu Doa yaaa pak Sukron” begitu isi SMS nya, dan ternyata yang mengirimnya adalah Pak Fm.

“Amin YRA” jawabku singkat. Aku hanya bisa berdoa saja pada Allah, semoga Allah memberikan kemudahan dan mengabulkan masalah dan urusannya Pak Fm.

*****

Hari Sabtu, 21 Februari 2015 jam 08.28 wib saat aku dan keluargaku sedang beres2 rumah, tiba2 HP ku berbunyi dengan nada SMS masuk. Aku lihat HP ku, dan ternyata Pak Fm yang mengirim SMS.
“Aslm wwb pak apa kabar mngkn besok sy br bs dtg kerumah antum pagi yaaa sukron” begitu isi SMS Pak Fm yang menjelaskan bahwa dia tidak bisa datang kerumahku pada hari Sabtu sesuai dengan rencananya semula.

“Wa’alaikum slm wrwb, ya ga apa2, tp mgkn Pak Ferdi tdk bs dtg nih sbb dia sdh ada janji dgn org lain krn ada keperluan yg sm” jawabku.

“iyaaa pak ngga apa2 trims” balas Pak Fm

Aku melanjutkan lagi untuk beres2 rumah. Sekedar bersih2 saja kok. Itulah agendaku bila tak ada kesibukan yang lainnya.

Dalam jawaban SMS ku pada Pak Fm aku mencantumkan nama Pak Ferdi, dia adalah anak guruku. Kami memang sering berjalan bersama jika akan memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang yang memerlukan bantuan dan pertolongan kami. Entah sudah berapa kali aku dan anak guruku itu pergi bersama dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar, begitulah istilah yang kami pakai bila membantu dan menolong orang. Banyak kisah dan kejadian yang kami alami dan rasakan ketika kami berjuang demi menjalankan visi dan misi kami.

*****

Hari Minggu, 22 Februari 2015 jam 10an, Pak Fm bersama istri dan anaknya tiba dirumahku. Saat itu sudah ada Pak Ferdi yang datang kerumahku, dia datang kerumahku jam 09.10 wib.
“Orangnya tadi pagi jam 7an telpon ke saya, dia batal datang kerumah saya…” begitu jawaban Pak Ferdi waktu aku tanyakan kenapa dia datang kerumahku, bukankah dia sudah ada janji dengan seseorang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.

“iya betul, tapi orang itu sudah membatalkannya. Nah, kebetulan saya ada acara di sekitar wilayah Ps. Minggu, acaranya jam 14an, sebelum datang kesana saya sempatkan untuk datang kerumah bapak” lanjut Pak Ferdi kepadaku yang menjelaskan kedatangannya kerumahku. Memang betul, aku memintanya untuk datang kerumahku pada hari Minggu ini, untuk menemani dan membantu aku dalam menangani permasalahannya Pak Fm. Anak perempuanku yang biasanya membantu aku kali ini dia tidak bisa datang kerumahku, karena dia ada acara di sekitar wilayah Bogor.

Tentu saja aku sangat senang dengan kehadiran Pak Ferdi, sebab kami memang sudah biasa bekerjasama dalam menangani orang yang ingin minta tolong pada kami.

*****

Setelah duduk dan berbasa-basi sebentar, lalu aku memperkenalkan Pak Ferdi kepada Pak Fm dan keluarganya. Mereka kelihatannya senang dapat bertemu lagi denganku dan berbincang-bincang dengan kami. Aku perhatikan raut wajah mereka sangat jauh berbeda saat mereka pertama kali datang kerumahku.

“Begini pak, kedatangan kami kerumah bapak adalah pertama berniat silaturahmi kepada bapak. Kemarin dulu saya datang kerumah bapak mengajak istri dan anak saya, dan sekarangpun saya ajak lagi mereka kesini….” begitu kalimat pembukaan resminya Pak Fm kepada kami.

Aku mengangguk-angguk.

“Kedatangan saya kesini ingin memberi kabar pada bapak….” lanjut Pak Fm.

“Ruko saya sudah laku terjual dengan harga sekian rupiah (sengaja aku tidak mencantumkan nominal harganya yang menurutku sangat besar, hal itu hanya sebagai adab saja). Pembelinya sudah memberikan uang muka sebagai tanda jadi sebesar 25 % dari jumlah total harga penjualan ruko…”

“Alhamdulillaaah….” aku memuji Allah sebagai tanda rasa syukur dengan lisan.

Aku ikut bergembira. Nilai jual ruko Pak Fm itu memang tidak sesuai dengan plafon harga yang dia pasang, tapi Pak Fm bersyukur pada Allah dan berterima kasih padaku karena sudah mau membantu dan menolongnya. Memang betul, harga ruko yang sudah laku terjual itu hanya ¾ dari harga plafon Pak Fm. Kami bersyukur Pak, sebab Allah sudah mengabulkan doa kita, begitu ungkapan Pak Fm padaku.

“Itulah sebabnya pak, mengapa saya mengajak istri dan anak saya untuk datang kerumah bapak. Saya berusaha menghindari kelakuan yang tidak baik, masak waktu lagi susah datangnya rombongan, eh pas sudah senang datangnya cuma sendirian aja….” Pak Fm bicaranya seperti berkelakar, aku senyum2 kecil saja mendengar ucapan Pak Fm yang tidak malu2 untuk mengingatkan dirinya sendiri.

“Keberhasilan penjualan ruko bapak itu sebenarnya secara hakikat adalah berkat dari doa bapak dan doa keluarga bapak” kataku menjelaskan dan mengapresiasi doa dan usahanya Pak Fm yang dibantu oleh keluarganya sesuai saranku saat aku memberikan penjelasan tentang tata cara berdoa pada kemarin dulu.

Dan sesuai dengan niat dan janjinya, uang hasil penjualan ruko itu akan dipakai untuk membeli sebidang tanah yang akan dibangun ruko penggantinya sebagai kantor dari perusahaan Pak Fm.

“Kalau sudah dibayar lunas, saya akan membayar dan melunasi semua hutang2 saya pak…” kata Pak Fm lagi dengan semangat dan gembira.

“Iya…memang harus begitu. Bapak jangan melupakan janji yang pernah diucapkan dulu kepada Allah, dan kalau saya sekarang mau mengingatkan bapak, boleh nggak…?” jawabku dengan pertanyaan.

“Oooo boleh pak, silahkan pak….saya akan terima apa2 yang akan bapak sampaikan pada saya…”

“Untuk selanjutnya bila perusahaan bapak nanti berhasil beroperasi lagi, jangan lupa mengeluarkan zakatnya, sebab zakat itu adalah kewajiban dari Allah yang tidak bisa ditawar-tawar atau ditunda-tunda pengeluarannya jika memang sudah cukup Nishob dan Haulnya…” kataku.

“Berikanlah zakat itu pada para fakir miskin, kaum dhu’afa yang berada disekitar lingkungan rumah bapak, kalau ternyata orang2 yang saya sebutkan tadi sudah tidak ada lagi, maka pemberiannya dialihkan pada tetangga desa…”

“Insya Allah pak, saya akan lebih memperhatikan lagi dalam pengeluaran zakat perusahaan saya” jawab Pak Fm dengan mantap.

“Zakat yang bapak keluarkan itu hakikatnya adalah harta miliknya para fakir miskin yang Allah titipkan pada Bapak. Oleh karena itu jika bapak tidak mau mengeluarkan dan memberikan zakat itu, berarti bapak telah berbuat zholim, bahkan lebih zholim dari para koruptor kelas kakap sekalipun, karena bapak sudah merampas dan mengambil harta miliknya para fakir miskin….” aku selipkan sedikit dakwahku. Aku sebenarnya malu pada diriku sendiri, kenapa aku sampai begitu bebasnya mendakwahkan hal ini kepada Pak Fm. Padahal aku ini bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ilmu agama, khususnya agama Islam. Saat situasi seperti ini aku jadi teringat pada sebuah Sabda Nabi Muhammad Saw:

“Ballighu a’anni walau ayah” (HR. Bukhari)

Sampaikanlah dariku, walaupun hanya bisa menyampaikan satu ayat saja.

“Qulil haqqu walau kaana murron” (Pepatah Arab)

Katakanlah kebenaran, meskipun (efeknya) pahit

*****

Saat aku mengingatkan Pak Fm, ingatanku berada pada saudara2ku yang seiman dan seagama, yaitu mereka2 yang sudah Allah berikan kemudahan dalam berbisnis, berusaha, berwiraswasta sehingga mereka mempunyai perusahaan, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu perusahaan yang lumayan besar. Aku berharap dan berdoa pada Allah Swt, semoga mereka para pengusaha, konglomerat yang berhasil dengan bisnisnya tidak akan lupa untuk mengeluarkan zakat perniagaannya jika Nishob dan Haulnya sudah mencukupi.

Aku hanya dapat merenung, jika mereka tidak mengeluarkan zakatnya, padahal itu adalah perintah wajib dari Allah, Tuhan yang sudah memberikannya kemudahan dan keberhasilan dalam usahanya, bukan tidak mungkin Allah akan mencabut dan mengambil kembali semua nikmat2 yang sudah DIA amanatkan pada mereka? Mungkin saja penyebabnya karena mereka kurang bersyukur, tidak menjalankan amanat yang sudah diberikan oleh Allah Swt, khususnya dalam bidang penunaian zakat perniagaan. Sudah banyak contoh yang Allah perlihatkan kepada manusia tentang pencabutan dan pengambilan harta para orang kaya yang lupa bersyukur pada NYA.

Penunaian zakat, khususnya zakat perniagaan, zakat mal adalah salah satu diantara ungkapan rasa dan cara bersyukurnya hamba Allah terhadap nikmat dan anugerah yang telah Allah berikan kepada para pengusaha dan konglomerat.

Aku rasa diantara kita sudah banyak yang mengerti dan paham, bahwa sungguh sangat mudah bagi Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Berkehendak untuk mencabut semua anugerah yang sudah diberikan NYA kepada manusia.

Subhanallah…..

Maha Suci Allah dari persangkaan manusia yang tidak beriman dan tidak berakal.

Semoga saja mereka masih tetap diberikan Taufiq dan Hidayah dari Allah Swt.

Amin Ya Robbal’alamin.

*****

Sekitar jam 11.45 wib Pak Fm dan keluarganya berpamitan.

Kali ini mereka pulang kerumahnya dengan senyum lebar, karena sekarang mereka sedang membawa bertumpuk-tumpuk harapan dan sikap optimis akan keberhasilan suatu usaha yang akan dirintisnya lagi dari awal.

Aku sempat menatap keudara, aku lihat langit sedang cerah karena matahari bersinar sangat terang.

 

Djonaka Ahmad dan Ahmad Ferdi Bin Ibrohim Ilyas

Uang Kuliah Yang Diselewengkan Akhirnya Dikembalikan

(kisah nyata)

Mukaddimah

Allah Swt berfirman dalam Al Qur’an surat An Nisa ayat 148 yang artinya:

Laa yuhibbullahul jahro bissuu-i minalqouli illa man zholima. Wa kaanallahu sami’an ‘aliimaa.

“Allah tidak menyukai perbuatan buruk yang diucapkan secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizhalimi. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.”

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rosulullah Saw bersabda, yang artinya:

Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengutus Mu’adz ke Yaman dan Beliau berkata kepadanya : “Takutlah kamu akan doa seorang yang terzhalimi, karena doa (orang) tersebut tidak adah hijab (penghalang) diantara dia dengan Allah”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

-oOo-

Hari Minggu malam Senin, 18 Januari 2015 jam 20.15 aku kedatangan tamu sebanyak 5 orang. Tiga lelaki (Rd, Br, Ah) dan dua wanita (Yn, Ad). Mereka bermaksud bersilaturahim, tentu saja dengan senang hati aku menerimanya.

Setelah ngobrol dengan perbincangan yang ramah dan santai, lalu salah seorang diantara mereka, Ibu Yn, bercerita kepadaku, bahwa dia sekarang ini sedang berada dalam kondisi pisik dan pikiran yang rumit, pusing bahkan seperti “stres”.

Ibu Yn

Ibu Yn

Ibu Yn menjelaskan, bahwa dia sudah ketipu oleh seseorang, sebut saja namanya M, yang sudah dia percayai. Betapa tidak, uang sejumlah sekian puluh juta rupiah yang dia serahkan kepada M sebagai pembayaran uang kuliah dari dia dan beberapa teman kuliahnya ternyata oleh M tidak diserahkan pada pihak sekretariat tempat dia kuliah. Uang kuliah mereka telah diselewengkan oleh M.

M adalah seorang wanita yang sudah lama diceraikan oleh suaminya, ia salah seorang pegawai dari tempat ibu Yn berkuliah di sebuah universitas swasta di kawasan Jakarta Selatan. Di universitas itu banyak mahasiswa yang sudah berstatus sebagai pegawai, termasuk diantaranya adalah Ibu Yn. Dia adalah seorang guru di SLA swasta kawasan Jakarta Pusat.

Status dan posisinya bekerja M berada di sub yang menangani administrasi perkuliahan dan kemahasiswaan, oleh karena itu maka wajarlah bila Ibu Yn menyerahkan uang kuliahnya pada M. Ibu Yn tidak menaruh curiga apapun kepada M, karena selama ini uang kuliah yang diserahkan pada M aman2 saja, dan lancar. Tidak ada masalah apapun. Baru kali inilah masalah itu ada.
Sebenarnya kisah nyata ini sangat panjang ceritanya kalau aku uraikan dengan detail, tetapi karena untuk menghemat ruang di blog ini maka aku singkat saja, tetapi tidak mengurangi isi dan substansi dari kisah nyatanya Ibu Yn ini.

-oOo-

Singkatnya, aku ajak Ibu Yn dan teman2nya untuk sama2 berdoa pada Allah Swt untuk membantu masalahnya Ibu Yn. Aku memberikan pengertian menurut penafsiranku, bahwa yang paling afdhol dalam berdoa itu adalah Ibu Yn sendiri, karena dia yang mengalami masalahya, maka yang paling mengerti dan paham untuk menyusun dan memanjatkan doapun adalah Ibu Yn. Merekapun paham dan mengerti dengan penjelasanku.

Ibu Yn pun berdoa kepada Allah Swt. Tenang, khusuk dan terisak-isak lalu menangis. Merinding bulu kudukku saat mendengar doanya Ibu Yn. Aku haru.

“Tolong ibu baca sebuah Asma Allah yang terdapat di Asmaul Husna ini sebanyak 113x setiap selesai sholat fardhu. Tapi, amalan ini jangan disengaja ditujukan kepada si M, cukup dibaca saja dan meminta kepada Allah agar ibu diberikan kemudahan dalam masalah ibu…” begitu pintaku agar tidak terjadi salah persepsi.

Setelah aku memberikan beberapa pencerahan, Ibu Yn dan teman2nyapun berpamitan untuk pulang.

-oOo-

Hari Sabtu malam Minggu, 7 Februari 2015 jam 20.45 wib Ibu Yn datang lagi kerumahku bersama 4 orang teman2nya. Setelah beramah tamah sebentar, Ibu Yn bercerita, bahwa pusing dan “stres” nya kini sudah mulai berkurang. Penyebabnya karena M yang dibantu oleh keluarganya sudah mengembalikan uang kuliah yang diselewengkan itu sebesar 80 persen.

Aku mengucap hamdalah.

Aku memberikan spirit, bahwa pengembalian uang oleh M kepada Ibu Yn itu penyebabnya adalah karena kemantapan iman dan keyakin Ibu Yn kepada Allah Swt. Kesabarannya pun walau di hari kemarin pernah nyaris hilang, bisa menjadi faktor penyebab doanya Ibu Yn dikabulkan Allah. Apalagi bila Ibu Yn menambahkannya dengan sikap tawakkal, maka sebagai pihak yang dizholimi, doa2nya Ibu Yn kepada Allah pun tidak ada yang bisa menghalangi, sedangkan aku dan teman2nya hanya sebatas mengaminkan saja doanya Ibu Yn.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw yang artinya:

“Takutlah kamu akan doa seorang yang terzhalimi, karena doa (orang) tersebut tidak adah hijab (penghalang) diantara dia dengan Allah”. H.R. Bukhari dan Muslim

Ibu Yn bercerita, bahwa setelah mengamalkan wiridan dariku, dampak yang diterima oleh M adalah dia seperti malu, pucat, lunglai dan tak berdaya bila berhadapan dengan Ibu Yn. Padahal selama ini M selalu mudah berkelit dan menghilang bila Ibu Yn menelpon atau SMS kepada M untuk janjian bertemu. Terakhir, yang lebih membuat Ibu Yn bertambah kesal kepada M adalah HP nya selalu tidak aktif bila Ibu Yn menghubunginya lewat telpon atau SMS.

Tapi sekarang, permasalahan Ibu Yn dengan M sudah sedikit clear, Ibu Yn sudah tidak stres lagi. Ibu Yn memberi informasi, bahwa sisa uang yang 20 persen itu akan dibayar lunas oleh M dan keluarganya pada 7 hari kemudian.

Aku reflek mengucap “ “Aaamiiin….”.

Semoga Allah Swt mengabulkan doa Ibu Yn dan doaku.

-oOo-

Djonaka Ahmad

Sakit Aneh : Perut Gendut, Buncit

(kisah nyata)

Malam Rabu, 9 April 2013 baru saja aku berada di dalam rumah, berganti pakaian setelah selesai sholat Isya berjama’ah di Musholla Al Jihad, tiba2 terdengar suara salam dari depan rumahku. Aku langsung bergegas menuju teras depan rumah, ternyata ada dua orang yang sedang berdiri didepan pintu gerbang. Mereka adalah seorang ibu berusia sekitar 45 tahun dan seorang lelaki berusia sekitar 27 tahun.
Saat bertemu denganku, ibu itu, sebuat saja namanya R, langsung saja bicara:

“Maaf pak, saya minta tolong ke bapak, anak saya sedang sakit aneh, perutnya gendut. Buncit..” ujar ibu R dengan wajah memelas.

Aku tidak menjawabnya. Aku mengajak mereka untuk masuk kedalam rumah. Setelah duduk, aku bertanya pada ibu R:

“Emang anak ibu sakit apa…?’ tanyaku ingin tahu.

“Gak tahu pak….”

“Mungkinkah sakit lever, mag atau barangkali masuk angin…?” ujarku menduga-duga sekenanya.

“Sudah pernah di periksa dokter belum…?” tanyaku selanjutnya.

Begitulah kebiasaanku kepada orang2 yang pernah datang kepadaku untuk meminta tolong mengobati sakit. Aku tidak pernah memvonis sesuatu penyakit, apapun sakitnya, dengan vonis sebagai penyakit non medis, atau penyakit tidak wajar. Berbeda halnya dengan oknum yang berpredikat sebagai praktisi pengobatan alternatif, dari berbagai media sosial, aku sering membaca, melihat dan mendengar bahwa mereka, para praktisi pengobatan, seringkali memvonis sakitnya seseorang dengan vonis singkat dan menakutkan, yaitu : kena santet ! Begitu gampangnya mereka memvonis, padahal secara medis mereka belum membuktikannya, sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan kondisi seperti ini. Dan anehnya, banyak sekali orang2 yang percaya pada mereka. Apakah ini tanda2 dekadensi moral, sosial, akhlaq atau barangkali dekadensi iman ?

Sembuh dari suatu penyakit adalah sesuatu yang didambakan oleh seseorang yang sedang sakit, namun banyak sekali yang menginginkan proses penyembuhan sakitnya sesegera mungkin, instan. Akibatnya, karena dipacu oleh ingin sembuh, akhirnya banyak yang tidak berpikir panjang lagi dalam berikhtiar dan berdoa untuk pengobatan penyakitnya. Indikasinya, terbukti banyak orang yang berdatangan ketempat praktik pengobatan alternatif, padahal mereka belum pernah berobat secara medis, berobat kepada dokter. Mereka seperti sudah terkena virus sugesti, bahkan begitu hebatnya sugesti itu, sehingga mereka dalam berobat tidak mau lagi mencari solusi yang rasional.

Memang betul, siapapun dia, tidak ada yang bisa menjamin kesembuhan suatu penyakit, termasuk ilmu medis. Kesembuhan hanya Hak Mutlak Allah Swt. Tapi setidaknya, sikap keseimbangan dan kehati-hatian sangat diperlukan.

Aku tidak sedikitpun mengabaikan sifat manusiawinya seseorang, artinya bahwa setiap orang yang sakit selalu ingin cepat sembuh. Namun bukan berarti dalam mencari dan menjalani pengobatan dengan serampangan. Seringkali seseorang yang sedang sakit mengambil jalan pintas, sehingga kalimat seperti ini : “Masa bodo, dengan dampak dan resiko, yang penting saya sembuh !” dijadikan sebagai kalimat suci. Kalimat seperti itu walaupun sepintas terkesan benar, namun sangat riskan, ia rentan dengan kerapuhan. Rapuh pisik, pikiran, emosi, finansial, keimanan dan masih banyak lagi kerapuhan penderitaan yang lainnya.

Menurut hematku, kalau saja mereka mau sedikit instropeksi dan mau mengambil ibroh (pelajaran) dari riwayat Nabi Ayyub As yang pernah menderita sakit cukup lama, maka Insya Allah mereka akan bersabar, dan tentu saja tidak boleh putus asa dalam mencari dan menjalani pengobatan. Bukan mustahil, sakit yang diderita oleh seseorang itu adalah cobaan, teguran dari Allah Swt agar mereka mau menyadari, menginsyafi dan bertobat untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa lalu. Atau bisa jadi sakitnya itu hanya sebagai ketentuan yang harus dilalui sebagai syarat naik derajat di sisi Allah Swt.
Jarang disadari dan dipahami oleh kita, bahwa terkadang Allah dalam menyayangi hamba NYA bukan dengan “memanjakannya”, tapi justru DIA memberikan cobaan yang beraneka ragam jenis dan bentuknya. Yakinlah, bahwa teguran Allah itu pasti ada hikmah dan manfaatnya bagi seseorang, dan itu bukan berarti Allah marah atau benci. Cobalah renungkan, jika ada seorang ibu hanya karena ingin mendengarkan suara tangisan anak bayinya, terkadang ia mencubit pipi anak bayinya agar menangis. Saat si bayi menangis, si ibu tersenyum dan tertawa mendengarkan suara tangis anak bayinya sambil bergurau dan mencandainya. Setelah puas mendengar suara tangisan anak bayinya, biasanya si ibu menggendong, merajuk dan merayu anaknya agar berhenti manangis. Perilaku dan sikap si ibu itu bukanlah dia kejam, marah atau benci pada anak bayinya, justru semua itu karena si ibu sangat sayang pada anaknya.

Kita kembali pada proses pengobatan. Saat seseorang yang berobat pada praktisi pengobatan alternatif, sudah menjadi rahasia umum, banyak diantara mereka yang tidak mempedulikan lagi keimanannya hanya kerena menuruti “perintah” si praktisi pengobatan alternatif demi pengobatan sakitnya. Sebagai contoh, ketika si praktisi pengobatan alternatif itu memberikan syarat dalam mengobati penyakitnya dengan cara agar si pasien atau keluarganya menyembelih ayam cemani, atau ayam putih, menggantung telur busuk sowang di dalam rumahnya, atau membeli apel jin dengan harga yang “wah”, atau memberi sesajen di sungai, kali, tempat2 angker atau pohon dan tempat2 yang lainnya, mereka tidak ragu2 lagi untuk menuruti dan menjalankan perintah si praktisi pengobatan alternatif itu. Aku yakin, sebenarnya mereka bukanlah orang2 bodoh semua, tetapi saat kondisi sepeti ini, mereka betul2 seperti orang bodoh yang dibodohi oleh orang2 yang berperilaku bodoh. Ah, yang sudah terjadi biarlah berlalu, semoga bagi mereka, para “pasien” itu diberikan Taufiq dan Hidayah oleh Allah Swt, sehingga akan dapat mudah untuk menyesalinya dan segera bertaubat pada Allah Swt. Amin Ya Robbal’alamin.

Sekarang aku kembali pada kisah ini, ibu R menjawab pertanyaanku :

“Sudah pak, bahkan sudah tiga kali di opname di rumah sakit yang berbeda” suaranya terbata-bata.

“Lalu kata dokter, anak ibu sakit apa…?” tanyaku ingin tahu.

“Mereka bilang gak ada penyakitnya pak…” jawab ibu R dengan raut muka cemas.

Gak ada penyakitnya ? Masak sih, tanyaku dalam hati. Apakah mungkin dokter kurang serius dalam memeriksa pasiennya? Atau kurang teliti? Atau ada hal2 yang harus dirahasiakan, agar keluarga pasiennya tidak panik? Ah, tidak mungkin. Seorang dokter tidak mungkin akan berbuat seperti yang aku duga. Disiplin ilmu akademis yang mereka miliki dari proses belajarnya yang lama, ditambah lagi dengan sumpah yang sudah pernah mereka lakukan sangatlah mustahil bagi mereka melakukan hal yang aku khawatirkan. Mustahil, bathinku mendebat. Lalu, kenapa anak ibu R masih sakit dengan perut gendut? Buncit? Mengapa? Kenapa? Begitulah pertanyaanku dalam hati. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab, sebab aku belum tahu persis kondisi anak ibu R, aku belum melihatnya secara zhohir, apalagi aku bukanlah dokter, dan tidak pernah pula belajar ilmu kedokteran.

“Sekarang anak ibu dimana? Anak ibu lelaki atau wanita” tanyaku sedikit bersemangat mengikuti irama bicara ibu R, irama yang bernada cemas dari seorang ibu yang anaknya sedang sakit.

“Sekarang lagi dirumah saya pak, sedang berbaring, tidak bisa bergerak. Dan ini, menantu saya, suami dari anak saya yang sedang sakit itu…” jawab ibu R datar sambil mengenalkan menantunya. Oh, rupanya lelaki yang menemani ibu R ini adalah menantunya. Aku jadi paham, kenapa ia sesekali mondar-mandir, kadang mengusap dahinya yang berkeringat. Ya, dia gelisah. Kegelisahan seorang suami yang cinta dan sayang pada istrinya.

“Bagaimana pak, apakah bapak bisa menolong saya untuk mengobati anak saya pak…?” pinta ibu R.

Aku diam sejenak, menimbang-nimbang, apakah tidak sebaiknya anak ibu R ini saja yang dibawa kerumahku untuk diobati, aku hanya ingin perubahan saja. Sebab selama ini biasanya aku yang aktif mendatangi pasien, nah sekarang aku ingin mencoba perubahan, kali ini aku ingin agar pasien saja yang datang kerumahku bila ingin minta tolong diobati penyakitnya. Aku masih terdiam, berpikir. Ah, bagaimana mungkin ia bisa kerumahku, bukankah menurut keterangan ibu R, anaknya sedang berbaring dan tidak bisa bergerak. Parahkah sakitnya anak ibu R, hingga ia tidak bisa untuk bergerak. Andaikan benar, dan anak ibu R dipaksakan juga untuk datang kerumahku, tentunya anak ibu R akan jadi bertambah sakitnya, dan penderitaannyapun mungkin akan bertambah pula, begitulah benakku berbicara. Lalu, sakit apakah sebenarnya dia? Aku tidak bisa menjawab, akhirnya aku menjawab:

“Oooo….iya, iya….Isnya Allah bu saya mau menolong, tapi saya hanya bisa mengobati dan berdoa saja. Tidak lebih dari itu….” jawabku sedikit terkejut.

“Iya pak, terima kasih atas kesediaan bapak…”

Karena sudah menyanggupi permintaan ibu R, akupun meminta ibu R dan menantunya untuk menungguku sebentar karena aku akan masuk kedalam rumah, berganti pakaian.

Di dalam rumah aku menceritakan maksud kedatangan tamu tadi kepada istri dan anak2ku. Seperti biasa aku tidak lupa minta bantuan doa dari mereka. Begitulah yang sering aku lakukan bila ingin mengobati orang sakit. Aku sangat butuh dengan dukungan moril dan spirituil dari keluargaku. Selama ini mereka sudah banyak membantu dan menolongku dari kegiatanku saat membantu dan menolong orang lain. Meskipun mereka tidak ikut serta secara zhohir, tapi sebenarnya merekak ikut serta secara bathin, yaitu dengan doa2nya yang tulus. Alhamdulillah, aku bersyukur pada Allah, karena sudah diberikan istri dan anak2 yang sudah mengerti dan paham dengan kegiatanku selama ini.
Aku mengajak anak perempuanku untuk membantu pengobatan yang akan aku lakukan. Anak perempuanku ini memang sudah seringkali aku ajak bila aku mengobati orang sakit, begitu seringnya hingga kami sedikit mengerti dan paham akan suatu penyakit. Sejak dari pendeteksian hingga pengobatannya.

Setelah semuanya kami anggap siap, lalu aku mengeluarkan sepeda motor yang sudah banyak jasanya menjadi sarana bagi kami untuk mendatangi rumah orang2 yang memerlukan bantuan kami.

Dengan membaca Bismillaaah….kami berangkat menuju rumah ibu R. Kendaraan kami berjalan dengan beriringan, aku berada dibelakang mengikuti jalannya motor menantu ibu R.

Sesampai dirumah ibu R, ternyata di sana sudah banyak orang yang berkumpul, mungkin keluarga ibu R. Aku memberi salam, dan salamku dijawab serempak oleh mereka. Sambil bersalaman, aku perhatikan ada seorang lelaki yang berusia sekitar 55 tahun yang bersikap acuh tak acuh akan kedatanganku bersama anak perempuanku. Dia hanya duduk dikursi, tidak berdiri untuk menyambut kedatangan kami, padahal orang2 yang berada di rumah itu semuanya berdiri untuk bersalaman dengan kami, mungkin maksudnya hanya sekedar penghormatan saja menyambut kedatangan kami.

Lelaki itu posisi duduknya sedang mengangkat kakinya yang kanan yang ditaruh diatas lutut kaki kirinya. Dia dingin. Sorot matanya seperti berbicara, bahwa kedatangan kami tidak diinginkannya. Dia seperti menyelidiki aku dan anak perempuanku. Aku tidak tahu apa yang ia selidiki. Aku hanya bisa menduga saja, mungkin penampilanku ini tidak berkenan dihatinya. Aku memang berpakaian preman, begitulah aku memberi istilah. Aku hanya memakai kaos, celana gelap, jaket dan topi warna merah yang aku beli di pasar tiban, pasar kaget. Memang begtulah kebiasaanku, tidak pernah berpakaian “resmi” bila datang kerumah seseorang yang meminta bantuan dan pertolonganku. Aku tidak ingin berpenampilan mencolok seperti penampilan para praktisi pengobatan alternatif yang pernah aku lihat di TV. Aku tidak mau seperti itu, aku hanya ingin berpenampilan apa adanya, alami sebagai seorang diriku pribadi yang tidak pernah merasa berbeda dengan kebanyakan orang. Aku hanya orang biasa, sehingga aku tidak ingin berpenampilan seperti yang dibuat-buat. Dugaanku, mungkin karena aku berpenampilan seperti itulah sehingga lelaki yang aku perkirakan berusia 55 tahun itu kelihatannya acuh tak acuh padaku. Secara zhohir memang sangat berbeda penampilan si lelaki itu dengan diriku, ia berbaju koko putih, memakai kopiah putih, celananya biru dongker dan kedua tangannya sedang sibuk memutar untaian biji tasbih. Ah, aku tidak peduli dengan dia jika dugaanku ternyata benar. Sebab aku datang kerumah ibu R karena aku diminta olehnya untuk mengobati sakit anaknya. Aku mengambil sikap biasa2 saja, tidak perlu menghiraukan apalagi merisaukan si lelaki itu.

Setelah selesai bersalaman, lalu aku diajak oleh ibu R untuk masuk kedalam rumahnya, ketempat anaknya yang sedang berbaring karena sedang sakit. Dan sampailah kami di ruangan tempat anak ibu R yang sedang berbaring.

Saat bertemu dengan anak ibu R, bathinku menangkap sesuatu yang aku anggap aneh. Anak ibu R, sebut saja namanya N, sedang tiduran celentang, tubuhnya ditutupi kain panjang. Aku lihat perutnya gendut, buncit, seperti wanita yang sedang hamil 9 bulan. Padahal menurut penjelasan dari suaminya dan ibu R, mengatakan bahwa N tidak hamil. Bahkan kata mereka di bulan ini si N baru saja selesai dari haidnya, tepatnya tiga minggu yang lalu.

Tatapan mata N sangat sayu seperti orang yang tidak pernah tidur di malam hari. Badannya terkesan kaku, seperti sulit untuk digerakkan. Usianya aku perkirakan sekitar 20 tahun. Setelah memperhatikan sejenak, sebagai seorang muslim yang bertemu dengan muslim pula, aku memberi salam kepadanya untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw dan juga sebagai pancingan apakah dia merespon salamku atau tidak. Dalam pemberian salam itu, setidaknya aku punya catatan pribadi, dan kini aku jadikan sebagai “rumus” pribadi pula. Maksudnya, bila dia merespon salamku, maka dugaanku dia sakitnya biasa2 saja, sakit wajar. Aku memberikan istilahnya sebagai sakit medis. Namun bila dia tidak mau menjawab salamku, maka dugaanku dia terkena penyakit tidak wajar, sakit non medis. Memang sangat sederhana “uji cobaku” itu, tapi walaupun sederhana, seringkali sangat membantu metode pengobatan yang sudah aku lakukan.

Salamku yang pertama tidak dijawab oleh si N, ia hanya menatap kelangit-langit, seperti tidak mendengar ucapan salamku. Tatapan matanya kosong. Aku jadi curiga pada penyakit si N, sebab dari pengalaman yang sudah aku dapatkan dari sekian kali mengobati orang yang sakit, biasanya kalau seseorang sakitnya wajar, sakit medis, maka dia langsung menjawab ucapan salam, khususnya ucapan salam dariku yang saat ini sedang berada di dekatnya. Tapi, bila dia sakitnya non medis, tidak wajar, maka seringkali dia tidak mau menjawab ucapan salamku.

Pernah pula ada yang menjawab salamku setelah sekian kali aku ucapkan, namun jawaban salamnya sangat aneh. Jawaban salam itu disertai dengan mimik wajah yang mengernyitkan dahi, lalu menatap padaku dengan tatapan yang tidak bersahabat. Padahal bila mau dipahami makna salam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, tentu sangat bertolak belakang dengan perangai dia. Pada situasi dan kondisi seperti ini, seperti biasa aku tenang2 saja, tidak panik. Hal itu aku maksudkan sebagai cara menetralisir saja. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana situasinya jika aku panik, gelisah saat mendapatkan situasi dan kondisi seperti ini, tentunya orang2 selainku, terutama pasien dan keluarganya akan lebih panik lagi dari diriku. Lalu, secara moral dan phisikis, dimana tanggung jawabku? Bukankah kedatanganku pada pasien adalah untuk mengobati penyakit? Bukan untuk berdebat atau menyalahkan seseorang, terutama pada si N yang sekarang ingin aku tolong mengobati sakitnya. Dan bila ternyata pasiennya dengan sebab aku obati kemudian disembuhkan Allah, tentu akan berdampak baik pula terhadap si pasien dan keluarganya. Begitu pula sebaliknya, jadi bagaimana mungkin aku akan panik jika menghadapi situasi seperti ini, walaupun secara manusiawi rasa “gregetan” pada reaksi pasien yang seperti demikian tetap ada pada diriku. Ya, karena aku hanya manusia biasa, seperti manusia yang lainnya, kadang egoku masih suka muncul. Manusiawi, begitulah pembelaanku.

Aku ulangi lagi memberikan salam, tetapi tetap saja si N tidak menjawab salamku. Tatapan mata si N masih kosong. Akhirnya, setelah ucapan salamku yang ketiga tidak juga dijawabnya, maka aku putuskan untuk mengambil tindakan. Segera mengobati si N.

Sebelum mengobatinya, aku minta agar semua yang ada di rumah ini untuk berkumpul, membantu aku dalam berdoa. Sudah menjadi kebiasaanku bahwa bila aku mengobati orang sakit, apakah dia lelaki atau wanita, tidak pernah aku lakukan secara berduaan saja dengan pasien. Tujuanku agar aku terhindar dari fitnah, dan tentu saja agar pihak keluarga pasienpun bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, sehingga mereka tahu persis dan mengerti proses pengobatan yang aku lakukan.

Dalam melakukan pengobatanpun aku tidak pernah meminta atau menggunakan media benda yang tidak rasional, apalagi yang menyimpang dari ajaran agama Islam seperti yang selalu dilakukan oleh praktisi pengobatan alternatif. Andaikan diperlukan media, biasanya aku hanya meminta air putih untuk didoakan sebagai obat bagi si pasien. Atau bila aku ingin menambahkan media pengobatan dalam bentuk benda, biasanya aku memberi saran kepada keluarga pasien untuk diberikan obat2an herbal (buah2an) sesuai dengan penyakit dan jenisnya.

Setelah semuanya berkumpul, aku memberikan penjelasan seperlunya tentang maksud mengumpulkan mereka. Diantaranya adalah, bahwa maksudku ini sebenarnya ada yang tersirat sebagai pengakuan pribadiku, artinya dalam berdoa kepada Allah Swt, aku ini tidaklah merasa lebih hebat, tidaklah lebih baik, tidaklah lebih bagus, tidaklah merasa lebih terkabul doaku jika dibandingkan dengan doa mereka. Aku hanya manusia biasa seperti kebanyakan manusia yang lainnya. Aku tidaklah lebih bersih daripada mereka, aku masih banyak kekurangan serta pernah juga berbuat salah dan khilaf. Ibadahkupun pada Allah tidaklah lebih banyak dan lebih baik daripada mereka. Dan masih banyak lagi penjelasan2 lainnya yang aku hubungkan dengan keimanan. Oleh karena itu aku sengaja mengajak orang2 yang ada di rumah ini untuk berkumpul, agar dapat bersama2 berdoa demi membantu pengobatan yang akan aku lakukan.
Aku berikan keyakinan pada mereka, siapa tahu diantara kita ada doanya yang dipilih oleh Allah untuk dikabulkan. Siapakah dia, aku tidak tahu. Bisa saja doa yang dikabulkan itu adalah doa dari ibunya, bapaknya, suaminya, anaknya, saudaranya, atau doanya si N sendiri yang sekarang sedang sakit. Dari literatur yang pernah aku baca, doa seorang yang sedang sakit lebih cepat dikabulkan oleh Allah bila dia selama menderita sakitnya itu tetap bersabar, tidak mengeluh, tidak putus asa, tetap berobat dan yakin pada Allah bahwa penyakitnya akan segera disembuhkan oleh Allah. Aku jelaskan juga, bahwa semua penyakit ada obatnya, yang memberikan obat adalah Allah, maka Allah pulalah yang menyembuhkan. Kita sebagai manusia hanya bisa mengobati dan berdoa semata, masalah kesembuhannya adalah hak Mutlak Allah Swt.

Setelah cukup dengan penjelasan singkat dan seperlunya, lalu aku bersiap-siap untuk mengobati si N. Aku meminta kepada semua orang yang berada di ruangan itu untuk mengaminkan doa yang akan aku panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan Semesta Alam, Tuhan Yang Memelihara, Tuhan Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Penyembuh. Inti dari doaku adalah, bahwa aku berdoa kepada Allah Swt agar proses pengobatan ini diberikan keberkahan oleh Allah, diberi kemudahan, kemampuan untuk mengobati sakitnya si N, dan memohon pada Allah agar si N segera Allah sembuhkan dari sakitnya sehingga sehat kembali seperti sebelum sakit. Sekian menit berlalu, doapun selesai.

Karena si N adalah seorang wanita, dan sakitnyapun berada dibagian perut dan sekitarnya, maka aku meminta tolong pada anak perempuanku untuk membantu proses pengobatin ini.

Caranya, aku pegang tangan kiri anakku, sedang tangan kanan anakku memegang perutnya si N yang gendut dan buncit itu. Lalu aku membaca beberapa ayat Al Qur’an yang aku hapal. Sesudah selesai membaca ayat Al Qur’an, aku perintahkan anakku agar tangannya yang memegang perut si N itu untuk diusap kearah bawah dengan niatan mencabut dan membuang penyakit aneh si N sambil mengucapkan:

”Allahu Akbar !”

“Allahu Akbar !” anak perempuanku mengikuti apa yang aku ucapkan.

Sejurus kemudian, aku perhatikan wajah si N, ia lalu meringis, dia merintih lirih. Semua yang berada di ruangan pengobatan ini aku lihat saling terdiam, seperti tegang. SI N masih merintih, kali ini rintihannya sedikit berkurang dari yang pertama.

Dan…..Allahu Akbar ! perut si N yang tadinya gendut, buncit seperti wanita hamil 9 bulan, kini sudah kempes. Tidak ada tanda2 gendut lagi, tidak ada tanda2 buncit lagi. Tidak ada tanda2 seperti hamil. Yang lebih aneh lagi, tidak ada satu bendapun yang keluar dari perutnya si N, atau dari bagian tubuh yang lainnya. Allahu Akbar !

Aku terkesiap, kaget, aneh.

Betapa tidak, selama ini yang sudah aku dengar dari cerita orang2, bahwa ada beberapa orang praktisi pengobatan alternatif yang dapat mengeluarkan benda2 seperti paku, jarum, silet, rambut, pecahan beling dsb dari tubuh pasiennya yang diobati. Tapi si N justru tidak mengeluarkan benda2 apapun, atau benda2 seperti yang aku sebutkan tadi. Padahal perutnya si N yang semula gendut, buncit, sekarang sudah kempes. Sudah normal lagi. Aneh, baru kali aku mengalami kejadian ini.

Allahu Akbar ! Walillaahilhamdu…

Aku hanya merenung, mengapa banyak para praktisi pengobatan alternatif yang pernah mengobati pasiennya bisa mengeluarkan benda2 seperti yang aku sebutkan tadi dari dalam pasiennya? Dari mana benda2 tsb berasal dan dari bagian tubuh manakah benda tsb bisa masuk ? Bukankah jika kita kena tertusuk duri yang kecil saja badan ini sudah tidak karuan rasanya? Lalu, bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan dari rasa sakitnya sampai sekian waktu lamanya jika benda2 yang aku sebutkan itu berada di tubuhnya, dan saat keluar sudah berkaratan pula ? Tidakkah tubuh mereka seharusnya sudah bengkak membiru karena terkena racun karatan benda2 itu? Mengapa mereka masih hidup, padahal logikanya aliran darah mereka sebenarnya sudah tercemar oleh karatnya benda2 itu? Mengapa pula jumlah benda2 asing yang bisa dikeluarkan dari dalam tubuh pasiennya itu ada yang dengan jumlah banyak? Betulkah benda2 itu keluar dari tubuh pasiennya? Ataukah semua itu hanya trik dan tipuan belaka dari para praktisi pengobatan alternatif sekedar kamuflase agar mereka disebut sebagai orang yang mumpuni? Ataukah ada unsur2 lainnya yang menyemangati mereka untuk berbuat seperti itu? Oh, betapa beraninya.

Aku menatap lagi perutnya si N. Aku perhatikan terus, apakah perutnya si N masih gendut, buncit atau ada perubahan yang lainnya. Sekian menit aku perhatikan, ternyata perut si N benar2 sudah kempes, sudah normal lagi. Tidak ada tanda2 bahwa perut si N akan gendut lagi. Aku bertasbih : “Subhanallahu, Walhamdulillah, Walaailaaha Illallhu, Wallahu Akbar..!”. Dan semua orang2 yang berada di ruangan itupun mengikuti apa yang aku ucapkan, bahkan diucapkannya dengan berulang-ulang, termasuk si lelaki yang berusia 55 tahun, lelaki yang acuh tak acuh padaku itu, dia juga ikut2an membaca yang tadi sudah aku baca. Riuh.

Alhamdulillaaah…Allahu Akbar !

Aku perhatikan lagi wajah si N yang kini sudah mulai berubah. Kedua matanya tidak menatap kosong lagi, kini tatapan matanya sudah berangsur fokus pada obyek yang dilihatnya. Wajah si N tambah berubah, sekarang wajahnya segar. Aku menduga mungkin aliran darahnya yang mengarah ke kepala sudah mulai stabil, lancar sehingga wajah si N tidak pucat lagi. Untuk meyakinkan bahwa si N sudah mulai membaik, aku bertanya padanya:

“Bagaimana N, apakah ada perubahan dari pengobatan ini….?”
Si N mengangguk perlahan, namun anggukannnya dapat dipahami oleh semua orang yang berada di ruangan itu.

“Alhamdulillaaaah….” itulah ucapan pertama kali yang dikeluarkan dari mulut N dengan sedikit lirih yang membuat semua orang di ruangan itu terharu. Terutama ibu R, dia menangis haru bahagia. Keluarga N pun ikut pula menangis bahagia. Suami N terseyum bahagia, aku lihat ada butiran air mata dikedua kelopak matanya. Secara reflek ibu R memeluk tubuh N diiringi dengan ciuman sayang seorang ibu, disusul keluarganya yang lainpun ikut pula memeluk dan menciumi N.

Anak perempuan N yang sejak awal sudah berada untuk melihat dan menyaksikan pengobatan terhadap ibunya ikut pula menangis. N sedikit terkejut dengan suara tangisan anaknya, seolah dia baru mendengar kembali suara tangisan anak perempuannya itu. Kedua tangan N menjulur kearah anaknya sebagai isyarat ia ingin memegang dan memeluknya. Rupanya anak perempuan N mengerti, ia segera mendekati N, ibunya, dan merekapun menangis bersama. Aku terbawa emosi, tanpa sadar kedua mataku berkaca-kaca. Aku segera mengusapnya.

Sekian menit berlalu, rasa keharuan sudah mulai sedikit reda, lalu aku minta segelas air putih yang sudah dimasak pada ibu R. Setelah menerima segelas air putih yang aku maksudkan, aku meminta kepada orang yang berada di ruangan ini untuk membantu dan mengaminkan doa yang akan aku panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, Allah Swt. Aku berdoa pada Allah agar dengan sebab kami berdoa dan dengan sebab meminum air yang dibacakan beberapa ayat suci Al Qur’an nanti, penyakitnya N segera Allah sembuhkan. Setelah itu aku tiup di air yang ada di gelas itu.

“Tolong air ini agar diminum oleh N dengan membaca Bismillahir rohmaanir rohiim tiga kali dan Sholawat kepada Nabi Muhammad Saw juga sebanyak tiga kali. Sesudah itu balurkanlah perut N dengan air ini…” pintaku pada ibu R yang segera melakukan apa yang aku minta.

Beberapa menit berlalu, si N kini sudah mulai bisa diajak berdialog. Ia sudah bisa berinteraksi dengan wajar dan lancar. Tidak ada tanda2 yang mengkhawatirkan seperti ketika aku bertemu pada kali pertama.

“Bagaimana N, apakah ada perubahan lagi dengan kondisi pisik kamu setelah meminum dan dibalurkan dengan air obat itu…?”tanyaku memancing si N.

“Alhamdulillah…Pak, sudah ada perubahannya….” jawab N dengan lancar dan mantap.

Keluarga N pun tambah berbahagia dengan perubahan N yang sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Aku dan anak perempuankupun ikut berbahagia. Senang. Aku mengucap syukur pada Allah Swt yang telah mengabulkan doa2 yang telah kami panjatkan. Tidak henti2nya hatiku berdzikir pada Allah Swt. Kalimat2 thoyyibah yang lainpun aku ucapkan di dalam hatiku. Alhamdulillah…

-oOo-

Sambil duduk lesehan di tikar plastik, kami menikmati minuman dan hidangan yang disediakan oleh ibu R. Suasana sudah mulai tenang, normal. Aku manfaatkan situasi seperti ini dengan perbincangan2 yang ringan. Santai. Si N dan keluarganyapun menimpali. Lelaki yang semula acuh tak acuh padakupun ikut pula menimpali perbincanganku, dan ternyata dia adalah ayah mertuanya si N, begitulah penjelasan yang aku dengar dari ibu R. Hmmm…

Saat semuanya sudah mulai normal dan rileks, maka perbincangankupun aku selipkan dengan sedikit dakwah kepada mereka. Dakwah semampuku, seadanya saja sesuai yang bisa aku sampaikan. Aku pergunakan kata dan kalimat yang sederhana, merakyat, sehingga mereka tidak perlu mengernyitkan dahi untuk mendengar dan memahami ucapan2ku.

Aku sampaikan kepada mereka, bahwa bila kita ingin selamat dari hal2 yang tidak kita inginkan, terutama dari gangguan penyakit seperti N, sebaiknya kita agar selalu mengingat Allah dimana saja berada. Ingat pada Allah bukan berarti mulut kita selalu menyebut Nama NYA, “menyebut” dalam hatipun bisa dikategorikan sebagai orang yang ingat pada Allah. Aku jelaskan  bahwa hanya dengan mengingat Allah sajalah hati kita menjadi tenang dan tentram. Apapun masalah yang dihadapi, maka Insya Allah akan diberikan jalan keluar dan solusi terbaik.

Dzikir atau ingat pada Allah itu yang paling afdhol adalah dengan mendirikan sholat, baik sholat fardhu ataupun sholat sunah. Oleh karena itu jangan sekali-kali meninggalkan Sholat Fardhu, sebab itu adalah perintah kewajiban yang tidak ada tawar menawar dalam pelaksanaannya. Kelak diakhirat nanti, amalan sholat fardhulah yang pertama kali akan ditanya oleh Allah. Setelah itu barulah amalan ibadah lainnya yang akan ditanya oleh Allah.

Tidak ada alasan yang dibenarkan oleh agama untuk meninggalkan sholat fardhu, kecuali bagi kaum wanita saat dia sedang haid atau nifas setelah melahirkan, itulah yang dimaksud dengan udzur syar’i, keringanan yang dibenarkan oleh syariat agama Islam bagi seseorang, khususnya kaum wanita, untuk tidak mendirikan sholat. Sedangkan bagi kaum pria, maka sudah pasti tidak ada hal2 yang menyebabkan mereka boleh meninggalkan sholat fardhu.

Sambil berdakwah tidak lupa aku perhatikan si N, apakah dia menunjukkan sesuatu yang “mencurigakan” atau ada gejala dan tanda2 yang mengarah pada menghkawatirkan. Alhamdulillah sampai sekian menit lamanya, si N tidak menampakkan hal2 yang aku khawatirkan dan waspadai.

Aku yakinkan dulu pada diriku tentang kondisi si N, ternyata N sekarang aku anggap sudah sembuh. Sudah normal lagi seperti ia sebelum sakit, begitulah komentar keluarganya N yang aku dengar.

Setelah sekian menit lamanya aku berdakwah, maka akupun berpamitan untuk kembali kerumah. Berbarengan saat aku akan bangun dari duduk lesehan, saat itu juga N bangun dari posisi tidurannya. Ia bangun dan duduk tanpa dibantu oleh siapapun. Ibu R, suaminya N dan semua keluarganya terkejut, mereka tidak percaya dengan apa yang sedang dilihat oleh kedua matanya. Kata mereka, selama ini N bila akan merubah posisi pisiknya, selalu dibantu oleh orang, oleh keluarganya. Tapi sekarang ini, kenapa dia bisa berubah sendiri dari posisi tidurnya. Keluarga N pun bertambah lagi kegembiraannya, semuanya hampir bersamaan mengucapkan hamdalah.

Saat aku beranjak untuk pamit pergi, N bangun dan berdiri untuk bersalaman denganku. Tidak hanya itu saja, N pun berjalan mengikuti keluarganya yang mengantarkan kami keluar halaman rumahnya. Sambil mengucapkan terima kasih yang berulang-ulang, keluarga N tersenyum bahagia melihat N sekarang sudah sembuh. Aku dan anakku juga bahagia. Tidak lupa aku ingatkan lagi pada mereka akan pesan dakwahku tadi agar mereka memperhatikan dan mengamalkannya. Setelah mengucapkan salam, akupun pergi meninggalkan mereka yang masih berdiri menatap kami.

-oOo-

Malam Kamis, 10 April 2013 selesai Sholat Isya aku bersama istri dan anak2ku sedang duduk2 di teras rumahku.

“Assalaamu’alaikum…..” terdengar suara seorang wanita memberi salam.

“Wa’alaikumussalaam warohmatullohi wabarokaatuh….” jawabku. Segera aku buka pintu gerbang rumah. Dan…

“Maaf pak, mengganggu lagi nih….” ujar seorang wanita kepadaku. Aku terkejut, ternyata yang memberi salam tadi adalah ibu R. Dia datang lagi kerumahku dengan disertai N, suaminya N, anaknya N, neneknya N dan yang lainnya. Aku hitung jumlahnya ada 8 orang. Aku persilahkan mereka untuk masuk kedalam rumahku. Aku gelar tikar, kamipun duduk lesehan bersama.

Setelah berbasa-basi sebentar, aku bertanya tentang kabar mereka. Dijawab oleh ibu R, bahwa semuanya kabar baik, sehat. Keluargaku sangat senang mendengarnya.

Istriku menghidangkan minuman untuk mereka.

“Ada masalah apa lagi nih, kok kroyokan datang ke sini…?” tanyaku berkelakar membuka pembicaraan. Keluarga ibu N tertawa kecil, termasuk si N. Secara diam2 aku perhatikan si N, nampaknya dia benar2 sudah sembuh dan sehat. Perutnyapun masih kempes, normal. Tidak gendut seperti kemarin malam sebelum aku obati.

“Begini pak, kedatangan saya kerumah bapak bersama keluarga saya ini memang sengaja kami lakukan” ibu R pun membuka pembicaraannya dengan menyampaikan akan maksud kedatangannya kerumahku. Dia berkata, bahwa keluarga mereka mengucapkan terima kasih atas pertolonganku untuk mengobati N. Ibu R menjelaskan, bahwa sekarang N betul2 sudah sembuh, sudah beraktifitas seperti biasanya. Aku menjawab, bahwa bagi sesama manusia seharusnya memang begitu, saling tolong menolong sebisanya sesuai kemampunnya. Aku jelaskan juga, bahwa aku dan anak perempuanku hanya mampu sebegitu saja dalam memberikan pertolongan kepada keluarganya, khususnya pada si N. Kalau N sekarang sudah Allah sembuhkan, maka itu semua adalah berkat dari doa kita bersama, khususnya doa dari ibu R, suami N dan keluarga besar lainnya.

Ibu R mengulangi lagi ceritanya, bahwa N sebenarnya sudah berobat keberbagai rumah sakit, bahkan sudah pernah pula di opname. Dari sekian kali berobat ke rumah sakit, ternyata belum ada perubahan, bahkan dokter yang pernah mengobati N pun ada yang tidak mengerti tentang penyakitnya N.

“Waktu N sakit, dia tidak bisa bergerak pak. Kalau berjalan mesti dipapah dengan dua orang, karena kedua kakinya tidak bisa bergerak, tidak bisa melangkah. Dan bila dia berjalanpun badannya kaku, jalannya seperti robot…” lanjut ibu R sambil menatap N yang duduk dihadapannya.

“Dulu waktu di opname di rumah sakit, saya cuma bisa tidur celentang pak. Tidak bisa merubah posisi badan. Pernah seorang dokter agak sedkit kesal kepada saya, karena saya tidak menuruti perintahnya agar saya segera memakai celana. Padahal bukan saya tidak mau pak, tetapi karena kaki dan badan saya tidak bisa untuk digerakkan, sehingga saya hanya diam saja” si N menambahkan cerita ibunya.

Ibu R melanjutkan ceritanya, bahwa mereka pernah juga berobat pada seorang praktisi pengobatan alternatif yang berada di sekitar wilayah rumahnya, tapi tetap saja tidak ada hasil sesuai yang diharapkan oleh keluarga mereka. Saat mereka hampir putus asa, ada seseorang yang memberi informasi agar mereka meminta tolong pengobatan kepadaku. Keluarganya yang lainpun membenarkan cerita dari ibu R. Aku hanya mengangguk-angguk saja sekedar memberi isyarat bahwa aku serius mendengar cerita dari mereka.

Cukup lama juga ibu R dan keluarganya bercerita padaku, dan setelah dirasa cukup, akhirnya mereka berpamitan untuk pulang.

Sebelum mereka pulang, aku minta ijin pada ibu R dan suami si N, untuk mengambil foto wajah mereka, khususnya N dan suaminya. Aku jelaskan, bahwa maksudku memfoto mereka itu hanya sebagai kenangan saja, tidak lebih dari itu. Mereka mengijinkannya. Lalu aku ambil gambar wajah N dan suaminya itu dengan menggunakan camera HP ku.

Nita dan Suami dan Kelg

Dari kiri kekanan : Suaminya N, N yang sedang memangku putrinya, Neneknya N,

Setelah selesai aku ambil foto mereka, merekapun segera pulang kerumahnya. Sebelum mereka beranjak pergi, aku mengingatkan lagi pada mereka, agar mengamalkan apa2 yang sudah aku jelaskan pada kemarin malam dirumahnya saat aku mengobati N. Mereka mengangguk dan mengerti.
Aku berharap dan berdoa pada Allah Swt agar N dan keluarganya selalu diberikan kesehatan oleh Allah Swt, khususnya terhadap N semoga ia tidak lagi kena penyakit perut gendut.

(Bila kisah nyata ini bermanfaat, jadikanlah ia setidaknya sebagai penambah wawasan saja)

Ya Allah, berilah aku, keluargaku dan saudara2ku seiman seagama keselamatan,

berikanlah kami perlindunan MU, selamatankanlah kami Ya Allah

dari perbuatan dan kezholimannya makhluk.

Amin Ya Robbal’alamiiin.

 

(Djonaka Ahmad)

Gambar

Jin Kafir Yang Bersemayam di Tubuh Karena Belajar Tenaga Dalam

Dari:   David Budi Irawan

Kepada:   Alhikmah3113

Selasa, 8 Mei 2012 12:20 via email

 

Bismillahirrahmanirohim, segala puji bagi Allah seru sekalian Alam, dan sholawat serta salam terlimpah kepada junjungan kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Melalui surat ini saya ucapkan terima kasih yang sebesar2nya kepada bapak Ustadz Djonaka Ahmad Yaqub yang telah menolong saya menyembuhkan saya dari cengkeraman jin kafir yang berada di dalam tubuh saya selama kurang lebih 8 tahun(tepatnya mulai tanggal 30 september 2002). semoga ustadz sekeluarga di berikan Allah keselamatan dunia akhirat, dimurahkan Allah rejeki dan dimasukkan Allah ke dalam golongan kaum mukmin dan muklisin.

Dengan ini saya ingin beritahukan bahwa saya sudah tenang dalam beribadah, saya merasa bersemangat menjalani hidup, dan saya tidak mendengar bisikan2 di dalam hati untuk berlaku maksiat. Kondisi saya saat jin itu masih berada di badan saya adalah saya seperti orang gila dan kadang saat marah saya tidak bisa mengendalikan diri saya padahal saya sadar bahwa tindakan itu salah. Bahkan saya yang sebelumnya tidak bisa melihat hantu jadi bisa melihat hantu. Saya menjadi anak yang pendendam emosional berani sama orang tua. Saya sudah berusaha berobat kemana2 tapi belum juga menemukan hasil. Saya mendatangi para ahli yang bisa menyembuhkan tapi belum ada hasil yang nyata. Ada seorang Kyai yang menyerah karena tidak bisa mengeluarkan jin di dalam tubuh saya. Kata beliau jin itu sudah lama bersarang di badan saya dan sudah mendarah daging sehingga susah untuk di usir.

Kisah bermula saat saya belajar ilmu tenaga dalam tersebut adalah sebagai berikut:

Pada tahun 2002 (usia saya masih 12 tahun) saya di ajak teman saya untuk latihan pencak silat dan saya tidak tahu kalau pencak silat itu adalah tenaga dalam yang menggunakan bantuan jin. Ketika saya melihat pelatih bisa meloncat tembok tinggi dan bisa mematahkan balok es saya tertarik untuk ikut latihan.

Setelah 1 tahun saya ikut latihan, saya di beri amalan ilmu itu dan di transfer tenaga dalam. Tubuh saya seolah2 terasa kuat dan saya seperti tidak punya capek. Setelah itu saya menjadi anak yang hobi berkelahi dan tidak mengenal rasa takut bahkan bila dinasehati orang tua saya selalu melawan, seperti ada bisikan di dalam hati saya untuk selalu berbuat maksiat.

Saya sadar bahwa tindakan itu aneh, tapi saya tak kuasa mengendalikan itu semua. Saya merasa tersiksa dengan keadaan ini dan orang tua saya menyadari bahwa saya kemasukkan jin dan orang tua saya sudah banyak mendatangi orang pintar (dukun) tapi tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Saya susah sekali untuk beribadah karena gangguan jin itu.

Demikianlah penyakit saya akibat ulah jin kafir yang masuk ke tubuh saya hingga saya di obati oleh ustadz Djonaka Ahmad Yaqub dan disembuhkan oleh Allah SWT. Semoga orang yang mengalami gangguan seperti saya memperoleh jalan keluar (dan tidak di sesatkan oleh jin kafir). Amiin ya Robbal alamin.

Semoga Allah memberikan berkah kepada ustadz Djonaka Ahmad Yaqub sekeluarga dan anggota Al hikmah 3113. Amien, amien amien ya robbal alamin( insya Allah kita pasti di pertemukan oleh Allah).

Salam persaudaraan dari saya,

David Budi Irawan

Ucapan Terima Kasih dan Laporan Perkembangan Kesembuhan

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Bismillahirrahmanirrohim, segala puji bagi Allah seru sekalian Alam, dan selawat serta salam terlimpah kepada junjungan besar Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Melalui surat ini saya mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada saudaraku Ustadz Djonaka Ahmad Ya’qub yang meluangkan waktunya untuk mengobati saya dari gangguan jin kafir yang bersemayam di tubuh saya selama lebih kurang 27 tahun (tepatnya mulai tanggal 30 Oktober 1984). Semoga ustadzs sekeluarga diberikan Allah berkah dunia Akhirat, dimurahkan Allah rejeki dan ditinggikan derajatnya dalam tingkat golongan orang mukmin dan muklisin. Bersama ini saya ingin kabarkan bahwa saya sudah dapat dengan tenang menjalankan sholat lima waktu, saya sudah merasa bahagia dan senang jika mendengarkan ayat suci Al Qur’an. Dan hal lain penting adalah dorongan dari hati saya untuk mengerjakan kemaksiatan sangat berkurang tidak seperti sebelumnya. Kondisi saya sebelum jin tersebut dicabut dari tubuh saya adalah sangat malas untuk mengerjakan sholat, kalaupun terpaksa selalu saja tubuh saya bergerak sendiri atau malah (maaf sering buang angin pada saat sholat). Jika saya mendengar ayat-ayat Qur’an tubuh saya serasa berada dalam perahu yang terkena ombak besar (terayun-ayan) dan kadang-kadang saya tertawa terbahak-bahak seolah-olah bacaan ayat tersebut adalah lawakan yang lucu. Disamping itu saya mempunyai sifat pendendam luar biasa. Saya sudah berobat kemana-mana (sejak tahun 1984) tetapi tidak pernah menunjukkan hasil yang nyata hingga saya dipertemukan dengan ustadz (walau belum pernah bertemu muka). Dalam perjalanan saya mencari kesembuhan ada seorang kyai yang mengatakan bahwa saya harus kembali belajar ilmu tenaga dalam yang pernah saya pelajari agar jin tersebut dpdt keluar dari tubuh saya. Tetapi saran ini ditentang oleh orang tua saya, menurut ibu saya cara ini justru dapat menambah jumlah jin yang ada ditubuh saya.

Awal kisah saya belajar ilmu tenaga dalam tersebut adalah sebagai berikut:

Pada bulan Agustus 1984, (usia saya masih 16 tahun) saya mengantar adik sepupu saya untuk belajar ilmu pencak silat (pada saat itu saya tidak tahu kalau pencak silat tersebut adalah ilmu tenaga dalam), ketika melihat adik sepupu saya berlatih saya sangat tertarik karena sangat hebat layaknya cerita dalam comic silat (adik sepupu saya tidak bisa dipukul dan semua teman latihannya terpental jika ingin memukulnya). Sejak saat itu saya juga ikut latihan tersebut.

Setelah dua bulan ikut berlatih, pada suatu sore tepatnya tanggal 30 Oktober 1984, tubuh saya secara tiba-tiba bergetar hebat dan lidah saya menjulur (keluar) laksana kadal yang kelaparan, leher saya terputar nyaris patah dan saya sangat sukar untuk bernapas.. Semua keluarga saya jadi geger dan panik, mereka mengira saya akan mati. Melihat kondisi yang demikian kakak saya bergegas pergi keperguruan saya dan meminta pertanggung jawaban guru tenaga dalam saya. Tetapi pada saat itu guru saya tidak ada dan yang diutus untuk menyembuhkan saya adalah seorang murid senior. Dengan mengerahkan segala kemampuannya sang murid senior gagal mengusir jin tersebut dari tubuh saya. Keluarga kamipun menjadi bingung apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Untuk mengatasi hal tersebut om saya seorang polisi memiliki inisiatif untuk memanggil beberapa para normal (seingat saya ada 4 orang dengan berbagai jenis ilmu berbeda), tetapi semuanya menyerah. Pada akhirnya lebih kurang jam 10 malam om saya datang membawa seorang kakek yang bernama julak anang (sekarang almarhum), beliau ini yang mampu menyadarkan saya, dan membuat saya menjadi normal kembali. Tetapi rupanya kesembuhan saya itu adalah kesembuhan semu karena jin tersebut memang tidak mengganggu secara fisik tetapi sudah masuk kekalbu dan berbisik didalam hati saya. Demikianlah perjalalan penyakit saya sebagai ulah jin kafir tersebut hingga saya diobati oleh ustadz Djonaka Ahmad Ya’qub dan disembuhkan oleh Allah Subahanahu wata’ala . Mulanya saya sdh berputus asa untuk mencari kesembuhan tetapi sekarang saya sadar bahwa jika Allah ingin menyembuhkan penyakit mahluknya maka tidak ada yang tidak mungkin. Sekuat apapun ilmu jin tetapi masih lebih kuat ilmu Allah yang diberikannya kepada mahluk yang dipilihnya. Semoga orang-orang yang telah mengalami masalah seperti saya ini juga memperoleh jalan keluar sebagai mana yang saya dapatkan (dan tidak terjerumus kedalam kesyirikan) Amiiin yang robbal alamin,

Salam hormat dan persaudaraan dari saya

Ibrahim bin Muhammad, Semoga Allah memberikan berkahnya kepada ustadz Djonaka Ahmad Ya’qub sekeluarga dan anggota Al Hikmah 3113

Amien, Amien, Amien ya Allah (Insya Allah satu saat kita pasti dipertemukan Allah)

Dari: Prabu Jaya
Kepada: alhikmah
Dikirim: Selasa, 11 Oktober 2011 17:29
Judul: Ucapan trimakasih dan laporan perkembangan kesembuhan

Kisah Pemuda dan Seorang Ustadz

Al kisah ada seorang pemuda yang telah lama belajar ke luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta orang tuanya untuk mencarikan seseorang yang pintar dalam bidang agama untuk menjawab tiga pertanyaannya. Meskipun orangtuanya sangat heran dengan keinginan putranya itu, akhirnya di panggillah seorang ustads ke rumahnya.

Pemuda : “Anda siapa dan apakah anda bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?”

Ustads : “Saya hamba Allah dan atas seizin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.

Pemuda : “Anda yakin? sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak
mampu menjawab pertanyaan saya.”

Ustads : “Saya akan jawab sekemampuan saya.”

Pemuda : ” Saya ada tiga pertanyaan.
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya.
2. Apakah yang di namakan Takdir.
3. Kalau syaitan diciptakan dari api, kenapa di masukan ke dalam neraka yang diciptakan dari api. Tentu tidak menyakitkan buat syaitan sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?

Tiba-tiba sang ustads menampar pipi pemuda itu dengan tamparan yang keras. Pemuda itu sangat terkejut sambil menahan rasa sakit ia pun bertanya ” Kenapa anda marah?”

Ustads : “Saya tidak marah. Tamparan itu adalah jawaban dari tiga pertanyaan anda.”

Pemuda : “Saya sungguh-sungguh tidak mengerti?”

Ustads : “Bagaimana rasanya tamparan saya?”

Pemuda : “Tentu saja saya merasakan kesakitan.”

Ustads : “Jadi anda percaya kalau anda merasakan sakit?”

Pemuda : “Ya!”

Ustads : “Tunjukan pada saya wujud sakit itu!”

Pemuda : “Saya tidak bisa.”

Ustads : “Itulah jawaban pertanyaan pertama. Kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya. Apakah tadi malam anda bermimpi akan di tampar saya?”

Pemuda : “Tidak!”

Ustads : “Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?”

Pemuda : “Tidak!”

Ustads : “Itulah yang di namakan Takdir. Terbuat dari apa tangan yang digunakan saya untuk menampar anda?”

Pemuda : “Kulit.”

Ustads : “Terbuat dari apa pipi anda?”

Pemuda : “Kulit.”

Ustads : “Bagaimana rasanya tamparan saya?”

Pemuda : “Sakit!”

Ustads : “Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan bagi syaitan.”

Kisah Petani Jagung

Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia dibalik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga disekitar perkebunannya.

“Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?” tanya sang wartawan.

“Tak tahukah anda?,” jawab petani itu.

“Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula.”

Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya. Tetapi jika kita selalu berpikiran negative dengan mempengaruhi yang lain maka kehidupan kita juga akan menjadi negatif.

Maaf Jangan Bantu Aku

Jalannya tertatih menapaki beberapa anak tangga masjid, di setiap anak tangga ia berhenti untuk mengambil nafas panjang. Wajahnya menyeringai setiap kali kakinya menapaki anak tangga, lenguhan nafasnya lumayan terdengar dari jarak beberapa meter. Namun dari bibirnya selalu keluar kalimat “Allahu Akbar”. Dan ucapan “Alhamdulillah” penuh perasaan spontan keluar dari lelaki tua itu setelah anak tangga terakhir berhasil dicapainya. Matanya berbinar, wajahnya berseri sambil melangkah perlahan memasuki ruang utama masjid.

Ia pun mengambil posisi di sisi dinding serambi masjid untuk melaksanakan sholat sunnah sebelum sholat fardhu. Tubuhnya gemetar sepanjang ia berdiri, mungkin alasan itulah ia memilih posisi di sisi dinding agar bisa berpegangan jika hendak bangun dari sujud atau duduk untuk berdiri lagi. Demikian adanya yang terjadi, kakinya gemetar menahan tubuhnya, sedangkan ia harus bersusah payah saat harus berdiri lagi. Sebuah perjuangan tengah dipertontonkan oleh lelaki tua itu, mata ini tak ingin lepas dari gerak-geriknya yang semakin memikat.

Tak sesederhana yang tampak sekilas dari perjuangan sholat yang tengah diperagakan lelaki tua itu. Mulai dari cara ia berjalan memasuki halaman masjid, kemudian tertatih sambil meringis menapaki satu persatu anak tangga, dilanjutkan sholat sunnah di sisi dinding sambil kaki terus gemetar. Nafasnya tersengal menjalani semua itu, bagaikan seorang yang tengah memanggul beban berat di pundaknya yang sama sekali tak bisa ia lepaskan namun harus tetap dipikul beban itu. Kasihan, perasaan ini yang akhirnya terbersit di benak.

Sesaat sebelum iqomat berkumandang, saya mendekati lelaki tua ini. Setelah berbasa-basi, berkenalan dan mencoba mengakrabinya, saya menyampaikan rasa iba saya kepadanya dan menyarankan untuk sholat sambil duduk saja jika memang tak kuat untuk berdiri.

Seketika matanya menatap saya tajam tepat ke arah mata saya. Merasa bersalah saya mengeluarkan kata-kata itu kepadanya. “Maaf pak bila kata-kata saya salah, saya hanya…”

Lelaki tua itu segera menepuk pundak saya dan berkata, “Anak muda… saya memaksakan diri berjalan tertatih-tatih dari rumah ke masjid, memaksakan diri sambil menahan sakit menaiki anak tangga satu persatu, memaksakan diri untuk tetap berdiri dalam sholat saya agar Allah tahu betapa menyesalnya saya yang telah menyia-nyiakan masa muda dengan tidak banyak beribadah…”

“Waktu masih gagah seperti Anda, saya tidak banyak belajar agama apalagi menjalankannya. Banyak perintah Allah saya abaikan, sholat hampir selalu saya tinggalkan. Sekarang sudah setua ini saya baru sadar betapa nikmatnya beribadah dan berdekatan dengan Allah. Karenanya, saya abaikan rasa sakit dan letih ini untuk terus sholat dan memerbanyak ibadah lainnya. Saya… hanya ingin Allah melihat saya menyesal telah mengabaikan Dia selagi saya muda” matanya masih menatap saya yang tertunduk.

Iqomat pun berkumandang, ia menolak untuk saya bantu berdiri. Saya jadi malu sendiri, bukan kepada lelaki tua itu, melainkan pada diri sendiri yang masih gagah namun belum maksimal beribadah. Malu kepada Allah yang masih memberikan saya kemampuan untuk banyak beribadah. Astaghfirullah…

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa ” (QS.Ali Imron 3:133)

Saudaraku……., tak ada kata telat bagi Allah untuk menerima taubat kita, justru Allah sangat sangat rindu dan sangat-sangat bahagia ketika kita berjuang dengan segala keterpaksaan meninggalkan segala bentuk bentuk khilaf dan dosa yang masih sangat susah untuk kita tinggalkan, jangan pula merasa sudah sempurna dengan segala amal yang telah kita kerjakan, maka rasa harap dan takut kita kepada Allah harus senantiasa kita semai dan kita rawat.

Previous Older Entries