Sakit Aneh : Perut Gendut, Buncit

(kisah nyata)

Malam Rabu, 9 April 2013 baru saja aku berada di dalam rumah, berganti pakaian setelah selesai sholat Isya berjama’ah di Musholla Al Jihad, tiba2 terdengar suara salam dari depan rumahku. Aku langsung bergegas menuju teras depan rumah, ternyata ada dua orang yang sedang berdiri didepan pintu gerbang. Mereka adalah seorang ibu berusia sekitar 45 tahun dan seorang lelaki berusia sekitar 27 tahun.
Saat bertemu denganku, ibu itu, sebuat saja namanya R, langsung saja bicara:

“Maaf pak, saya minta tolong ke bapak, anak saya sedang sakit aneh, perutnya gendut. Buncit..” ujar ibu R dengan wajah memelas.

Aku tidak menjawabnya. Aku mengajak mereka untuk masuk kedalam rumah. Setelah duduk, aku bertanya pada ibu R:

“Emang anak ibu sakit apa…?’ tanyaku ingin tahu.

“Gak tahu pak….”

“Mungkinkah sakit lever, mag atau barangkali masuk angin…?” ujarku menduga-duga sekenanya.

“Sudah pernah di periksa dokter belum…?” tanyaku selanjutnya.

Begitulah kebiasaanku kepada orang2 yang pernah datang kepadaku untuk meminta tolong mengobati sakit. Aku tidak pernah memvonis sesuatu penyakit, apapun sakitnya, dengan vonis sebagai penyakit non medis, atau penyakit tidak wajar. Berbeda halnya dengan oknum yang berpredikat sebagai praktisi pengobatan alternatif, dari berbagai media sosial, aku sering membaca, melihat dan mendengar bahwa mereka, para praktisi pengobatan, seringkali memvonis sakitnya seseorang dengan vonis singkat dan menakutkan, yaitu : kena santet ! Begitu gampangnya mereka memvonis, padahal secara medis mereka belum membuktikannya, sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan kondisi seperti ini. Dan anehnya, banyak sekali orang2 yang percaya pada mereka. Apakah ini tanda2 dekadensi moral, sosial, akhlaq atau barangkali dekadensi iman ?

Sembuh dari suatu penyakit adalah sesuatu yang didambakan oleh seseorang yang sedang sakit, namun banyak sekali yang menginginkan proses penyembuhan sakitnya sesegera mungkin, instan. Akibatnya, karena dipacu oleh ingin sembuh, akhirnya banyak yang tidak berpikir panjang lagi dalam berikhtiar dan berdoa untuk pengobatan penyakitnya. Indikasinya, terbukti banyak orang yang berdatangan ketempat praktik pengobatan alternatif, padahal mereka belum pernah berobat secara medis, berobat kepada dokter. Mereka seperti sudah terkena virus sugesti, bahkan begitu hebatnya sugesti itu, sehingga mereka dalam berobat tidak mau lagi mencari solusi yang rasional.

Memang betul, siapapun dia, tidak ada yang bisa menjamin kesembuhan suatu penyakit, termasuk ilmu medis. Kesembuhan hanya Hak Mutlak Allah Swt. Tapi setidaknya, sikap keseimbangan dan kehati-hatian sangat diperlukan.

Aku tidak sedikitpun mengabaikan sifat manusiawinya seseorang, artinya bahwa setiap orang yang sakit selalu ingin cepat sembuh. Namun bukan berarti dalam mencari dan menjalani pengobatan dengan serampangan. Seringkali seseorang yang sedang sakit mengambil jalan pintas, sehingga kalimat seperti ini : “Masa bodo, dengan dampak dan resiko, yang penting saya sembuh !” dijadikan sebagai kalimat suci. Kalimat seperti itu walaupun sepintas terkesan benar, namun sangat riskan, ia rentan dengan kerapuhan. Rapuh pisik, pikiran, emosi, finansial, keimanan dan masih banyak lagi kerapuhan penderitaan yang lainnya.

Menurut hematku, kalau saja mereka mau sedikit instropeksi dan mau mengambil ibroh (pelajaran) dari riwayat Nabi Ayyub As yang pernah menderita sakit cukup lama, maka Insya Allah mereka akan bersabar, dan tentu saja tidak boleh putus asa dalam mencari dan menjalani pengobatan. Bukan mustahil, sakit yang diderita oleh seseorang itu adalah cobaan, teguran dari Allah Swt agar mereka mau menyadari, menginsyafi dan bertobat untuk tidak mengulangi perbuatannya di masa lalu. Atau bisa jadi sakitnya itu hanya sebagai ketentuan yang harus dilalui sebagai syarat naik derajat di sisi Allah Swt.
Jarang disadari dan dipahami oleh kita, bahwa terkadang Allah dalam menyayangi hamba NYA bukan dengan “memanjakannya”, tapi justru DIA memberikan cobaan yang beraneka ragam jenis dan bentuknya. Yakinlah, bahwa teguran Allah itu pasti ada hikmah dan manfaatnya bagi seseorang, dan itu bukan berarti Allah marah atau benci. Cobalah renungkan, jika ada seorang ibu hanya karena ingin mendengarkan suara tangisan anak bayinya, terkadang ia mencubit pipi anak bayinya agar menangis. Saat si bayi menangis, si ibu tersenyum dan tertawa mendengarkan suara tangis anak bayinya sambil bergurau dan mencandainya. Setelah puas mendengar suara tangisan anak bayinya, biasanya si ibu menggendong, merajuk dan merayu anaknya agar berhenti manangis. Perilaku dan sikap si ibu itu bukanlah dia kejam, marah atau benci pada anak bayinya, justru semua itu karena si ibu sangat sayang pada anaknya.

Kita kembali pada proses pengobatan. Saat seseorang yang berobat pada praktisi pengobatan alternatif, sudah menjadi rahasia umum, banyak diantara mereka yang tidak mempedulikan lagi keimanannya hanya kerena menuruti “perintah” si praktisi pengobatan alternatif demi pengobatan sakitnya. Sebagai contoh, ketika si praktisi pengobatan alternatif itu memberikan syarat dalam mengobati penyakitnya dengan cara agar si pasien atau keluarganya menyembelih ayam cemani, atau ayam putih, menggantung telur busuk sowang di dalam rumahnya, atau membeli apel jin dengan harga yang “wah”, atau memberi sesajen di sungai, kali, tempat2 angker atau pohon dan tempat2 yang lainnya, mereka tidak ragu2 lagi untuk menuruti dan menjalankan perintah si praktisi pengobatan alternatif itu. Aku yakin, sebenarnya mereka bukanlah orang2 bodoh semua, tetapi saat kondisi sepeti ini, mereka betul2 seperti orang bodoh yang dibodohi oleh orang2 yang berperilaku bodoh. Ah, yang sudah terjadi biarlah berlalu, semoga bagi mereka, para “pasien” itu diberikan Taufiq dan Hidayah oleh Allah Swt, sehingga akan dapat mudah untuk menyesalinya dan segera bertaubat pada Allah Swt. Amin Ya Robbal’alamin.

Sekarang aku kembali pada kisah ini, ibu R menjawab pertanyaanku :

“Sudah pak, bahkan sudah tiga kali di opname di rumah sakit yang berbeda” suaranya terbata-bata.

“Lalu kata dokter, anak ibu sakit apa…?” tanyaku ingin tahu.

“Mereka bilang gak ada penyakitnya pak…” jawab ibu R dengan raut muka cemas.

Gak ada penyakitnya ? Masak sih, tanyaku dalam hati. Apakah mungkin dokter kurang serius dalam memeriksa pasiennya? Atau kurang teliti? Atau ada hal2 yang harus dirahasiakan, agar keluarga pasiennya tidak panik? Ah, tidak mungkin. Seorang dokter tidak mungkin akan berbuat seperti yang aku duga. Disiplin ilmu akademis yang mereka miliki dari proses belajarnya yang lama, ditambah lagi dengan sumpah yang sudah pernah mereka lakukan sangatlah mustahil bagi mereka melakukan hal yang aku khawatirkan. Mustahil, bathinku mendebat. Lalu, kenapa anak ibu R masih sakit dengan perut gendut? Buncit? Mengapa? Kenapa? Begitulah pertanyaanku dalam hati. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab, sebab aku belum tahu persis kondisi anak ibu R, aku belum melihatnya secara zhohir, apalagi aku bukanlah dokter, dan tidak pernah pula belajar ilmu kedokteran.

“Sekarang anak ibu dimana? Anak ibu lelaki atau wanita” tanyaku sedikit bersemangat mengikuti irama bicara ibu R, irama yang bernada cemas dari seorang ibu yang anaknya sedang sakit.

“Sekarang lagi dirumah saya pak, sedang berbaring, tidak bisa bergerak. Dan ini, menantu saya, suami dari anak saya yang sedang sakit itu…” jawab ibu R datar sambil mengenalkan menantunya. Oh, rupanya lelaki yang menemani ibu R ini adalah menantunya. Aku jadi paham, kenapa ia sesekali mondar-mandir, kadang mengusap dahinya yang berkeringat. Ya, dia gelisah. Kegelisahan seorang suami yang cinta dan sayang pada istrinya.

“Bagaimana pak, apakah bapak bisa menolong saya untuk mengobati anak saya pak…?” pinta ibu R.

Aku diam sejenak, menimbang-nimbang, apakah tidak sebaiknya anak ibu R ini saja yang dibawa kerumahku untuk diobati, aku hanya ingin perubahan saja. Sebab selama ini biasanya aku yang aktif mendatangi pasien, nah sekarang aku ingin mencoba perubahan, kali ini aku ingin agar pasien saja yang datang kerumahku bila ingin minta tolong diobati penyakitnya. Aku masih terdiam, berpikir. Ah, bagaimana mungkin ia bisa kerumahku, bukankah menurut keterangan ibu R, anaknya sedang berbaring dan tidak bisa bergerak. Parahkah sakitnya anak ibu R, hingga ia tidak bisa untuk bergerak. Andaikan benar, dan anak ibu R dipaksakan juga untuk datang kerumahku, tentunya anak ibu R akan jadi bertambah sakitnya, dan penderitaannyapun mungkin akan bertambah pula, begitulah benakku berbicara. Lalu, sakit apakah sebenarnya dia? Aku tidak bisa menjawab, akhirnya aku menjawab:

“Oooo….iya, iya….Isnya Allah bu saya mau menolong, tapi saya hanya bisa mengobati dan berdoa saja. Tidak lebih dari itu….” jawabku sedikit terkejut.

“Iya pak, terima kasih atas kesediaan bapak…”

Karena sudah menyanggupi permintaan ibu R, akupun meminta ibu R dan menantunya untuk menungguku sebentar karena aku akan masuk kedalam rumah, berganti pakaian.

Di dalam rumah aku menceritakan maksud kedatangan tamu tadi kepada istri dan anak2ku. Seperti biasa aku tidak lupa minta bantuan doa dari mereka. Begitulah yang sering aku lakukan bila ingin mengobati orang sakit. Aku sangat butuh dengan dukungan moril dan spirituil dari keluargaku. Selama ini mereka sudah banyak membantu dan menolongku dari kegiatanku saat membantu dan menolong orang lain. Meskipun mereka tidak ikut serta secara zhohir, tapi sebenarnya merekak ikut serta secara bathin, yaitu dengan doa2nya yang tulus. Alhamdulillah, aku bersyukur pada Allah, karena sudah diberikan istri dan anak2 yang sudah mengerti dan paham dengan kegiatanku selama ini.
Aku mengajak anak perempuanku untuk membantu pengobatan yang akan aku lakukan. Anak perempuanku ini memang sudah seringkali aku ajak bila aku mengobati orang sakit, begitu seringnya hingga kami sedikit mengerti dan paham akan suatu penyakit. Sejak dari pendeteksian hingga pengobatannya.

Setelah semuanya kami anggap siap, lalu aku mengeluarkan sepeda motor yang sudah banyak jasanya menjadi sarana bagi kami untuk mendatangi rumah orang2 yang memerlukan bantuan kami.

Dengan membaca Bismillaaah….kami berangkat menuju rumah ibu R. Kendaraan kami berjalan dengan beriringan, aku berada dibelakang mengikuti jalannya motor menantu ibu R.

Sesampai dirumah ibu R, ternyata di sana sudah banyak orang yang berkumpul, mungkin keluarga ibu R. Aku memberi salam, dan salamku dijawab serempak oleh mereka. Sambil bersalaman, aku perhatikan ada seorang lelaki yang berusia sekitar 55 tahun yang bersikap acuh tak acuh akan kedatanganku bersama anak perempuanku. Dia hanya duduk dikursi, tidak berdiri untuk menyambut kedatangan kami, padahal orang2 yang berada di rumah itu semuanya berdiri untuk bersalaman dengan kami, mungkin maksudnya hanya sekedar penghormatan saja menyambut kedatangan kami.

Lelaki itu posisi duduknya sedang mengangkat kakinya yang kanan yang ditaruh diatas lutut kaki kirinya. Dia dingin. Sorot matanya seperti berbicara, bahwa kedatangan kami tidak diinginkannya. Dia seperti menyelidiki aku dan anak perempuanku. Aku tidak tahu apa yang ia selidiki. Aku hanya bisa menduga saja, mungkin penampilanku ini tidak berkenan dihatinya. Aku memang berpakaian preman, begitulah aku memberi istilah. Aku hanya memakai kaos, celana gelap, jaket dan topi warna merah yang aku beli di pasar tiban, pasar kaget. Memang begtulah kebiasaanku, tidak pernah berpakaian “resmi” bila datang kerumah seseorang yang meminta bantuan dan pertolonganku. Aku tidak ingin berpenampilan mencolok seperti penampilan para praktisi pengobatan alternatif yang pernah aku lihat di TV. Aku tidak mau seperti itu, aku hanya ingin berpenampilan apa adanya, alami sebagai seorang diriku pribadi yang tidak pernah merasa berbeda dengan kebanyakan orang. Aku hanya orang biasa, sehingga aku tidak ingin berpenampilan seperti yang dibuat-buat. Dugaanku, mungkin karena aku berpenampilan seperti itulah sehingga lelaki yang aku perkirakan berusia 55 tahun itu kelihatannya acuh tak acuh padaku. Secara zhohir memang sangat berbeda penampilan si lelaki itu dengan diriku, ia berbaju koko putih, memakai kopiah putih, celananya biru dongker dan kedua tangannya sedang sibuk memutar untaian biji tasbih. Ah, aku tidak peduli dengan dia jika dugaanku ternyata benar. Sebab aku datang kerumah ibu R karena aku diminta olehnya untuk mengobati sakit anaknya. Aku mengambil sikap biasa2 saja, tidak perlu menghiraukan apalagi merisaukan si lelaki itu.

Setelah selesai bersalaman, lalu aku diajak oleh ibu R untuk masuk kedalam rumahnya, ketempat anaknya yang sedang berbaring karena sedang sakit. Dan sampailah kami di ruangan tempat anak ibu R yang sedang berbaring.

Saat bertemu dengan anak ibu R, bathinku menangkap sesuatu yang aku anggap aneh. Anak ibu R, sebut saja namanya N, sedang tiduran celentang, tubuhnya ditutupi kain panjang. Aku lihat perutnya gendut, buncit, seperti wanita yang sedang hamil 9 bulan. Padahal menurut penjelasan dari suaminya dan ibu R, mengatakan bahwa N tidak hamil. Bahkan kata mereka di bulan ini si N baru saja selesai dari haidnya, tepatnya tiga minggu yang lalu.

Tatapan mata N sangat sayu seperti orang yang tidak pernah tidur di malam hari. Badannya terkesan kaku, seperti sulit untuk digerakkan. Usianya aku perkirakan sekitar 20 tahun. Setelah memperhatikan sejenak, sebagai seorang muslim yang bertemu dengan muslim pula, aku memberi salam kepadanya untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw dan juga sebagai pancingan apakah dia merespon salamku atau tidak. Dalam pemberian salam itu, setidaknya aku punya catatan pribadi, dan kini aku jadikan sebagai “rumus” pribadi pula. Maksudnya, bila dia merespon salamku, maka dugaanku dia sakitnya biasa2 saja, sakit wajar. Aku memberikan istilahnya sebagai sakit medis. Namun bila dia tidak mau menjawab salamku, maka dugaanku dia terkena penyakit tidak wajar, sakit non medis. Memang sangat sederhana “uji cobaku” itu, tapi walaupun sederhana, seringkali sangat membantu metode pengobatan yang sudah aku lakukan.

Salamku yang pertama tidak dijawab oleh si N, ia hanya menatap kelangit-langit, seperti tidak mendengar ucapan salamku. Tatapan matanya kosong. Aku jadi curiga pada penyakit si N, sebab dari pengalaman yang sudah aku dapatkan dari sekian kali mengobati orang yang sakit, biasanya kalau seseorang sakitnya wajar, sakit medis, maka dia langsung menjawab ucapan salam, khususnya ucapan salam dariku yang saat ini sedang berada di dekatnya. Tapi, bila dia sakitnya non medis, tidak wajar, maka seringkali dia tidak mau menjawab ucapan salamku.

Pernah pula ada yang menjawab salamku setelah sekian kali aku ucapkan, namun jawaban salamnya sangat aneh. Jawaban salam itu disertai dengan mimik wajah yang mengernyitkan dahi, lalu menatap padaku dengan tatapan yang tidak bersahabat. Padahal bila mau dipahami makna salam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw, tentu sangat bertolak belakang dengan perangai dia. Pada situasi dan kondisi seperti ini, seperti biasa aku tenang2 saja, tidak panik. Hal itu aku maksudkan sebagai cara menetralisir saja. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana situasinya jika aku panik, gelisah saat mendapatkan situasi dan kondisi seperti ini, tentunya orang2 selainku, terutama pasien dan keluarganya akan lebih panik lagi dari diriku. Lalu, secara moral dan phisikis, dimana tanggung jawabku? Bukankah kedatanganku pada pasien adalah untuk mengobati penyakit? Bukan untuk berdebat atau menyalahkan seseorang, terutama pada si N yang sekarang ingin aku tolong mengobati sakitnya. Dan bila ternyata pasiennya dengan sebab aku obati kemudian disembuhkan Allah, tentu akan berdampak baik pula terhadap si pasien dan keluarganya. Begitu pula sebaliknya, jadi bagaimana mungkin aku akan panik jika menghadapi situasi seperti ini, walaupun secara manusiawi rasa “gregetan” pada reaksi pasien yang seperti demikian tetap ada pada diriku. Ya, karena aku hanya manusia biasa, seperti manusia yang lainnya, kadang egoku masih suka muncul. Manusiawi, begitulah pembelaanku.

Aku ulangi lagi memberikan salam, tetapi tetap saja si N tidak menjawab salamku. Tatapan mata si N masih kosong. Akhirnya, setelah ucapan salamku yang ketiga tidak juga dijawabnya, maka aku putuskan untuk mengambil tindakan. Segera mengobati si N.

Sebelum mengobatinya, aku minta agar semua yang ada di rumah ini untuk berkumpul, membantu aku dalam berdoa. Sudah menjadi kebiasaanku bahwa bila aku mengobati orang sakit, apakah dia lelaki atau wanita, tidak pernah aku lakukan secara berduaan saja dengan pasien. Tujuanku agar aku terhindar dari fitnah, dan tentu saja agar pihak keluarga pasienpun bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, sehingga mereka tahu persis dan mengerti proses pengobatan yang aku lakukan.

Dalam melakukan pengobatanpun aku tidak pernah meminta atau menggunakan media benda yang tidak rasional, apalagi yang menyimpang dari ajaran agama Islam seperti yang selalu dilakukan oleh praktisi pengobatan alternatif. Andaikan diperlukan media, biasanya aku hanya meminta air putih untuk didoakan sebagai obat bagi si pasien. Atau bila aku ingin menambahkan media pengobatan dalam bentuk benda, biasanya aku memberi saran kepada keluarga pasien untuk diberikan obat2an herbal (buah2an) sesuai dengan penyakit dan jenisnya.

Setelah semuanya berkumpul, aku memberikan penjelasan seperlunya tentang maksud mengumpulkan mereka. Diantaranya adalah, bahwa maksudku ini sebenarnya ada yang tersirat sebagai pengakuan pribadiku, artinya dalam berdoa kepada Allah Swt, aku ini tidaklah merasa lebih hebat, tidaklah lebih baik, tidaklah lebih bagus, tidaklah merasa lebih terkabul doaku jika dibandingkan dengan doa mereka. Aku hanya manusia biasa seperti kebanyakan manusia yang lainnya. Aku tidaklah lebih bersih daripada mereka, aku masih banyak kekurangan serta pernah juga berbuat salah dan khilaf. Ibadahkupun pada Allah tidaklah lebih banyak dan lebih baik daripada mereka. Dan masih banyak lagi penjelasan2 lainnya yang aku hubungkan dengan keimanan. Oleh karena itu aku sengaja mengajak orang2 yang ada di rumah ini untuk berkumpul, agar dapat bersama2 berdoa demi membantu pengobatan yang akan aku lakukan.
Aku berikan keyakinan pada mereka, siapa tahu diantara kita ada doanya yang dipilih oleh Allah untuk dikabulkan. Siapakah dia, aku tidak tahu. Bisa saja doa yang dikabulkan itu adalah doa dari ibunya, bapaknya, suaminya, anaknya, saudaranya, atau doanya si N sendiri yang sekarang sedang sakit. Dari literatur yang pernah aku baca, doa seorang yang sedang sakit lebih cepat dikabulkan oleh Allah bila dia selama menderita sakitnya itu tetap bersabar, tidak mengeluh, tidak putus asa, tetap berobat dan yakin pada Allah bahwa penyakitnya akan segera disembuhkan oleh Allah. Aku jelaskan juga, bahwa semua penyakit ada obatnya, yang memberikan obat adalah Allah, maka Allah pulalah yang menyembuhkan. Kita sebagai manusia hanya bisa mengobati dan berdoa semata, masalah kesembuhannya adalah hak Mutlak Allah Swt.

Setelah cukup dengan penjelasan singkat dan seperlunya, lalu aku bersiap-siap untuk mengobati si N. Aku meminta kepada semua orang yang berada di ruangan itu untuk mengaminkan doa yang akan aku panjatkan kepada Allah Swt, Tuhan Semesta Alam, Tuhan Yang Memelihara, Tuhan Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Penyembuh. Inti dari doaku adalah, bahwa aku berdoa kepada Allah Swt agar proses pengobatan ini diberikan keberkahan oleh Allah, diberi kemudahan, kemampuan untuk mengobati sakitnya si N, dan memohon pada Allah agar si N segera Allah sembuhkan dari sakitnya sehingga sehat kembali seperti sebelum sakit. Sekian menit berlalu, doapun selesai.

Karena si N adalah seorang wanita, dan sakitnyapun berada dibagian perut dan sekitarnya, maka aku meminta tolong pada anak perempuanku untuk membantu proses pengobatin ini.

Caranya, aku pegang tangan kiri anakku, sedang tangan kanan anakku memegang perutnya si N yang gendut dan buncit itu. Lalu aku membaca beberapa ayat Al Qur’an yang aku hapal. Sesudah selesai membaca ayat Al Qur’an, aku perintahkan anakku agar tangannya yang memegang perut si N itu untuk diusap kearah bawah dengan niatan mencabut dan membuang penyakit aneh si N sambil mengucapkan:

”Allahu Akbar !”

“Allahu Akbar !” anak perempuanku mengikuti apa yang aku ucapkan.

Sejurus kemudian, aku perhatikan wajah si N, ia lalu meringis, dia merintih lirih. Semua yang berada di ruangan pengobatan ini aku lihat saling terdiam, seperti tegang. SI N masih merintih, kali ini rintihannya sedikit berkurang dari yang pertama.

Dan…..Allahu Akbar ! perut si N yang tadinya gendut, buncit seperti wanita hamil 9 bulan, kini sudah kempes. Tidak ada tanda2 gendut lagi, tidak ada tanda2 buncit lagi. Tidak ada tanda2 seperti hamil. Yang lebih aneh lagi, tidak ada satu bendapun yang keluar dari perutnya si N, atau dari bagian tubuh yang lainnya. Allahu Akbar !

Aku terkesiap, kaget, aneh.

Betapa tidak, selama ini yang sudah aku dengar dari cerita orang2, bahwa ada beberapa orang praktisi pengobatan alternatif yang dapat mengeluarkan benda2 seperti paku, jarum, silet, rambut, pecahan beling dsb dari tubuh pasiennya yang diobati. Tapi si N justru tidak mengeluarkan benda2 apapun, atau benda2 seperti yang aku sebutkan tadi. Padahal perutnya si N yang semula gendut, buncit, sekarang sudah kempes. Sudah normal lagi. Aneh, baru kali aku mengalami kejadian ini.

Allahu Akbar ! Walillaahilhamdu…

Aku hanya merenung, mengapa banyak para praktisi pengobatan alternatif yang pernah mengobati pasiennya bisa mengeluarkan benda2 seperti yang aku sebutkan tadi dari dalam pasiennya? Dari mana benda2 tsb berasal dan dari bagian tubuh manakah benda tsb bisa masuk ? Bukankah jika kita kena tertusuk duri yang kecil saja badan ini sudah tidak karuan rasanya? Lalu, bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan dari rasa sakitnya sampai sekian waktu lamanya jika benda2 yang aku sebutkan itu berada di tubuhnya, dan saat keluar sudah berkaratan pula ? Tidakkah tubuh mereka seharusnya sudah bengkak membiru karena terkena racun karatan benda2 itu? Mengapa mereka masih hidup, padahal logikanya aliran darah mereka sebenarnya sudah tercemar oleh karatnya benda2 itu? Mengapa pula jumlah benda2 asing yang bisa dikeluarkan dari dalam tubuh pasiennya itu ada yang dengan jumlah banyak? Betulkah benda2 itu keluar dari tubuh pasiennya? Ataukah semua itu hanya trik dan tipuan belaka dari para praktisi pengobatan alternatif sekedar kamuflase agar mereka disebut sebagai orang yang mumpuni? Ataukah ada unsur2 lainnya yang menyemangati mereka untuk berbuat seperti itu? Oh, betapa beraninya.

Aku menatap lagi perutnya si N. Aku perhatikan terus, apakah perutnya si N masih gendut, buncit atau ada perubahan yang lainnya. Sekian menit aku perhatikan, ternyata perut si N benar2 sudah kempes, sudah normal lagi. Tidak ada tanda2 bahwa perut si N akan gendut lagi. Aku bertasbih : “Subhanallahu, Walhamdulillah, Walaailaaha Illallhu, Wallahu Akbar..!”. Dan semua orang2 yang berada di ruangan itupun mengikuti apa yang aku ucapkan, bahkan diucapkannya dengan berulang-ulang, termasuk si lelaki yang berusia 55 tahun, lelaki yang acuh tak acuh padaku itu, dia juga ikut2an membaca yang tadi sudah aku baca. Riuh.

Alhamdulillaaah…Allahu Akbar !

Aku perhatikan lagi wajah si N yang kini sudah mulai berubah. Kedua matanya tidak menatap kosong lagi, kini tatapan matanya sudah berangsur fokus pada obyek yang dilihatnya. Wajah si N tambah berubah, sekarang wajahnya segar. Aku menduga mungkin aliran darahnya yang mengarah ke kepala sudah mulai stabil, lancar sehingga wajah si N tidak pucat lagi. Untuk meyakinkan bahwa si N sudah mulai membaik, aku bertanya padanya:

“Bagaimana N, apakah ada perubahan dari pengobatan ini….?”
Si N mengangguk perlahan, namun anggukannnya dapat dipahami oleh semua orang yang berada di ruangan itu.

“Alhamdulillaaaah….” itulah ucapan pertama kali yang dikeluarkan dari mulut N dengan sedikit lirih yang membuat semua orang di ruangan itu terharu. Terutama ibu R, dia menangis haru bahagia. Keluarga N pun ikut pula menangis bahagia. Suami N terseyum bahagia, aku lihat ada butiran air mata dikedua kelopak matanya. Secara reflek ibu R memeluk tubuh N diiringi dengan ciuman sayang seorang ibu, disusul keluarganya yang lainpun ikut pula memeluk dan menciumi N.

Anak perempuan N yang sejak awal sudah berada untuk melihat dan menyaksikan pengobatan terhadap ibunya ikut pula menangis. N sedikit terkejut dengan suara tangisan anaknya, seolah dia baru mendengar kembali suara tangisan anak perempuannya itu. Kedua tangan N menjulur kearah anaknya sebagai isyarat ia ingin memegang dan memeluknya. Rupanya anak perempuan N mengerti, ia segera mendekati N, ibunya, dan merekapun menangis bersama. Aku terbawa emosi, tanpa sadar kedua mataku berkaca-kaca. Aku segera mengusapnya.

Sekian menit berlalu, rasa keharuan sudah mulai sedikit reda, lalu aku minta segelas air putih yang sudah dimasak pada ibu R. Setelah menerima segelas air putih yang aku maksudkan, aku meminta kepada orang yang berada di ruangan ini untuk membantu dan mengaminkan doa yang akan aku panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, Allah Swt. Aku berdoa pada Allah agar dengan sebab kami berdoa dan dengan sebab meminum air yang dibacakan beberapa ayat suci Al Qur’an nanti, penyakitnya N segera Allah sembuhkan. Setelah itu aku tiup di air yang ada di gelas itu.

“Tolong air ini agar diminum oleh N dengan membaca Bismillahir rohmaanir rohiim tiga kali dan Sholawat kepada Nabi Muhammad Saw juga sebanyak tiga kali. Sesudah itu balurkanlah perut N dengan air ini…” pintaku pada ibu R yang segera melakukan apa yang aku minta.

Beberapa menit berlalu, si N kini sudah mulai bisa diajak berdialog. Ia sudah bisa berinteraksi dengan wajar dan lancar. Tidak ada tanda2 yang mengkhawatirkan seperti ketika aku bertemu pada kali pertama.

“Bagaimana N, apakah ada perubahan lagi dengan kondisi pisik kamu setelah meminum dan dibalurkan dengan air obat itu…?”tanyaku memancing si N.

“Alhamdulillah…Pak, sudah ada perubahannya….” jawab N dengan lancar dan mantap.

Keluarga N pun tambah berbahagia dengan perubahan N yang sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya. Aku dan anak perempuankupun ikut berbahagia. Senang. Aku mengucap syukur pada Allah Swt yang telah mengabulkan doa2 yang telah kami panjatkan. Tidak henti2nya hatiku berdzikir pada Allah Swt. Kalimat2 thoyyibah yang lainpun aku ucapkan di dalam hatiku. Alhamdulillah…

-oOo-

Sambil duduk lesehan di tikar plastik, kami menikmati minuman dan hidangan yang disediakan oleh ibu R. Suasana sudah mulai tenang, normal. Aku manfaatkan situasi seperti ini dengan perbincangan2 yang ringan. Santai. Si N dan keluarganyapun menimpali. Lelaki yang semula acuh tak acuh padakupun ikut pula menimpali perbincanganku, dan ternyata dia adalah ayah mertuanya si N, begitulah penjelasan yang aku dengar dari ibu R. Hmmm…

Saat semuanya sudah mulai normal dan rileks, maka perbincangankupun aku selipkan dengan sedikit dakwah kepada mereka. Dakwah semampuku, seadanya saja sesuai yang bisa aku sampaikan. Aku pergunakan kata dan kalimat yang sederhana, merakyat, sehingga mereka tidak perlu mengernyitkan dahi untuk mendengar dan memahami ucapan2ku.

Aku sampaikan kepada mereka, bahwa bila kita ingin selamat dari hal2 yang tidak kita inginkan, terutama dari gangguan penyakit seperti N, sebaiknya kita agar selalu mengingat Allah dimana saja berada. Ingat pada Allah bukan berarti mulut kita selalu menyebut Nama NYA, “menyebut” dalam hatipun bisa dikategorikan sebagai orang yang ingat pada Allah. Aku jelaskan  bahwa hanya dengan mengingat Allah sajalah hati kita menjadi tenang dan tentram. Apapun masalah yang dihadapi, maka Insya Allah akan diberikan jalan keluar dan solusi terbaik.

Dzikir atau ingat pada Allah itu yang paling afdhol adalah dengan mendirikan sholat, baik sholat fardhu ataupun sholat sunah. Oleh karena itu jangan sekali-kali meninggalkan Sholat Fardhu, sebab itu adalah perintah kewajiban yang tidak ada tawar menawar dalam pelaksanaannya. Kelak diakhirat nanti, amalan sholat fardhulah yang pertama kali akan ditanya oleh Allah. Setelah itu barulah amalan ibadah lainnya yang akan ditanya oleh Allah.

Tidak ada alasan yang dibenarkan oleh agama untuk meninggalkan sholat fardhu, kecuali bagi kaum wanita saat dia sedang haid atau nifas setelah melahirkan, itulah yang dimaksud dengan udzur syar’i, keringanan yang dibenarkan oleh syariat agama Islam bagi seseorang, khususnya kaum wanita, untuk tidak mendirikan sholat. Sedangkan bagi kaum pria, maka sudah pasti tidak ada hal2 yang menyebabkan mereka boleh meninggalkan sholat fardhu.

Sambil berdakwah tidak lupa aku perhatikan si N, apakah dia menunjukkan sesuatu yang “mencurigakan” atau ada gejala dan tanda2 yang mengarah pada menghkawatirkan. Alhamdulillah sampai sekian menit lamanya, si N tidak menampakkan hal2 yang aku khawatirkan dan waspadai.

Aku yakinkan dulu pada diriku tentang kondisi si N, ternyata N sekarang aku anggap sudah sembuh. Sudah normal lagi seperti ia sebelum sakit, begitulah komentar keluarganya N yang aku dengar.

Setelah sekian menit lamanya aku berdakwah, maka akupun berpamitan untuk kembali kerumah. Berbarengan saat aku akan bangun dari duduk lesehan, saat itu juga N bangun dari posisi tidurannya. Ia bangun dan duduk tanpa dibantu oleh siapapun. Ibu R, suaminya N dan semua keluarganya terkejut, mereka tidak percaya dengan apa yang sedang dilihat oleh kedua matanya. Kata mereka, selama ini N bila akan merubah posisi pisiknya, selalu dibantu oleh orang, oleh keluarganya. Tapi sekarang ini, kenapa dia bisa berubah sendiri dari posisi tidurnya. Keluarga N pun bertambah lagi kegembiraannya, semuanya hampir bersamaan mengucapkan hamdalah.

Saat aku beranjak untuk pamit pergi, N bangun dan berdiri untuk bersalaman denganku. Tidak hanya itu saja, N pun berjalan mengikuti keluarganya yang mengantarkan kami keluar halaman rumahnya. Sambil mengucapkan terima kasih yang berulang-ulang, keluarga N tersenyum bahagia melihat N sekarang sudah sembuh. Aku dan anakku juga bahagia. Tidak lupa aku ingatkan lagi pada mereka akan pesan dakwahku tadi agar mereka memperhatikan dan mengamalkannya. Setelah mengucapkan salam, akupun pergi meninggalkan mereka yang masih berdiri menatap kami.

-oOo-

Malam Kamis, 10 April 2013 selesai Sholat Isya aku bersama istri dan anak2ku sedang duduk2 di teras rumahku.

“Assalaamu’alaikum…..” terdengar suara seorang wanita memberi salam.

“Wa’alaikumussalaam warohmatullohi wabarokaatuh….” jawabku. Segera aku buka pintu gerbang rumah. Dan…

“Maaf pak, mengganggu lagi nih….” ujar seorang wanita kepadaku. Aku terkejut, ternyata yang memberi salam tadi adalah ibu R. Dia datang lagi kerumahku dengan disertai N, suaminya N, anaknya N, neneknya N dan yang lainnya. Aku hitung jumlahnya ada 8 orang. Aku persilahkan mereka untuk masuk kedalam rumahku. Aku gelar tikar, kamipun duduk lesehan bersama.

Setelah berbasa-basi sebentar, aku bertanya tentang kabar mereka. Dijawab oleh ibu R, bahwa semuanya kabar baik, sehat. Keluargaku sangat senang mendengarnya.

Istriku menghidangkan minuman untuk mereka.

“Ada masalah apa lagi nih, kok kroyokan datang ke sini…?” tanyaku berkelakar membuka pembicaraan. Keluarga ibu N tertawa kecil, termasuk si N. Secara diam2 aku perhatikan si N, nampaknya dia benar2 sudah sembuh dan sehat. Perutnyapun masih kempes, normal. Tidak gendut seperti kemarin malam sebelum aku obati.

“Begini pak, kedatangan saya kerumah bapak bersama keluarga saya ini memang sengaja kami lakukan” ibu R pun membuka pembicaraannya dengan menyampaikan akan maksud kedatangannya kerumahku. Dia berkata, bahwa keluarga mereka mengucapkan terima kasih atas pertolonganku untuk mengobati N. Ibu R menjelaskan, bahwa sekarang N betul2 sudah sembuh, sudah beraktifitas seperti biasanya. Aku menjawab, bahwa bagi sesama manusia seharusnya memang begitu, saling tolong menolong sebisanya sesuai kemampunnya. Aku jelaskan juga, bahwa aku dan anak perempuanku hanya mampu sebegitu saja dalam memberikan pertolongan kepada keluarganya, khususnya pada si N. Kalau N sekarang sudah Allah sembuhkan, maka itu semua adalah berkat dari doa kita bersama, khususnya doa dari ibu R, suami N dan keluarga besar lainnya.

Ibu R mengulangi lagi ceritanya, bahwa N sebenarnya sudah berobat keberbagai rumah sakit, bahkan sudah pernah pula di opname. Dari sekian kali berobat ke rumah sakit, ternyata belum ada perubahan, bahkan dokter yang pernah mengobati N pun ada yang tidak mengerti tentang penyakitnya N.

“Waktu N sakit, dia tidak bisa bergerak pak. Kalau berjalan mesti dipapah dengan dua orang, karena kedua kakinya tidak bisa bergerak, tidak bisa melangkah. Dan bila dia berjalanpun badannya kaku, jalannya seperti robot…” lanjut ibu R sambil menatap N yang duduk dihadapannya.

“Dulu waktu di opname di rumah sakit, saya cuma bisa tidur celentang pak. Tidak bisa merubah posisi badan. Pernah seorang dokter agak sedkit kesal kepada saya, karena saya tidak menuruti perintahnya agar saya segera memakai celana. Padahal bukan saya tidak mau pak, tetapi karena kaki dan badan saya tidak bisa untuk digerakkan, sehingga saya hanya diam saja” si N menambahkan cerita ibunya.

Ibu R melanjutkan ceritanya, bahwa mereka pernah juga berobat pada seorang praktisi pengobatan alternatif yang berada di sekitar wilayah rumahnya, tapi tetap saja tidak ada hasil sesuai yang diharapkan oleh keluarga mereka. Saat mereka hampir putus asa, ada seseorang yang memberi informasi agar mereka meminta tolong pengobatan kepadaku. Keluarganya yang lainpun membenarkan cerita dari ibu R. Aku hanya mengangguk-angguk saja sekedar memberi isyarat bahwa aku serius mendengar cerita dari mereka.

Cukup lama juga ibu R dan keluarganya bercerita padaku, dan setelah dirasa cukup, akhirnya mereka berpamitan untuk pulang.

Sebelum mereka pulang, aku minta ijin pada ibu R dan suami si N, untuk mengambil foto wajah mereka, khususnya N dan suaminya. Aku jelaskan, bahwa maksudku memfoto mereka itu hanya sebagai kenangan saja, tidak lebih dari itu. Mereka mengijinkannya. Lalu aku ambil gambar wajah N dan suaminya itu dengan menggunakan camera HP ku.

Nita dan Suami dan Kelg

Dari kiri kekanan : Suaminya N, N yang sedang memangku putrinya, Neneknya N,

Setelah selesai aku ambil foto mereka, merekapun segera pulang kerumahnya. Sebelum mereka beranjak pergi, aku mengingatkan lagi pada mereka, agar mengamalkan apa2 yang sudah aku jelaskan pada kemarin malam dirumahnya saat aku mengobati N. Mereka mengangguk dan mengerti.
Aku berharap dan berdoa pada Allah Swt agar N dan keluarganya selalu diberikan kesehatan oleh Allah Swt, khususnya terhadap N semoga ia tidak lagi kena penyakit perut gendut.

(Bila kisah nyata ini bermanfaat, jadikanlah ia setidaknya sebagai penambah wawasan saja)

Ya Allah, berilah aku, keluargaku dan saudara2ku seiman seagama keselamatan,

berikanlah kami perlindunan MU, selamatankanlah kami Ya Allah

dari perbuatan dan kezholimannya makhluk.

Amin Ya Robbal’alamiiin.

 

(Djonaka Ahmad)

Gambar