ILMU KEBAL Luntur Hilang Akibat Sombong

(kisah nyata)

Pengantar:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Luqman : 18)

Kereta api yang membawa kami dari Stasiun Pasar Senen Jakarta sudah sampai di Stasiun Pasar Turi Surabaya Jawa Timur dengan selamat pada hari Sabtu, 21 Desember 2013 pukul 07.15 wib. Alhamdulillah.

“Jangan lupa pak, kalau urusannya sudah selesai tolong mampir kerumah saya ya…” pinta Pak Jn kepadaku saat keluar dari pintu stasiun.

Pak Jn adalah warga Surabaya yang baru saja aku kenal saat kami berada di kereta api yang duduknya persis di depanku. Saat kami masih di kereta api, Pak Jn banyak bercerita kepadaku dan juga banyak berdiskusi denganku tentang berbagai topik. Pak Jn bertanya maksud kepergianku ke Surabaya, setelah aku jelaskan ternyata membuat dia tertarik, oleh karena itu dia mengundang aku dan teman seperjalananku untuk mampir kerumah Pak Jn.

“Insya Allah pak….” jawabku.

“Rumah saya diseberang jalan stasiun Pasar Turi pak….” jelas Pak Jn kepadaku.

Setelah saling mengucapkan salam, lalu kamipun berpisah menuju tujuan masing2.

Ferdi Ps Turi

Ust. Ahmad Ferdi Bin Ibrohim Ilyas

*****
Kepergianku ke Surabaya dalam rangka memenuhi permintaan Pak En yang meminta tolong padaku untuk mengobati saudaranya yang sedang sakit. Menurut keterangan Pak En saudaranya itu sudah lama menderita sakit yang belum juga sembuh. Sudah berobat pada sekian rumah sakit dan beberapa orang yang ahli dalam bidang pengobatan tetapi belum juga menunjukkan indikasi kesembuhan. Karena didasari ingin beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta ingin saling menolong kepada sesama, maka akupun mengiyakan saja permintaannya Pak En.

*****
Singkatnya, pengobatan yang aku berikan pada saudaranya Pak En pun sudah selesai, dan dengan ijin Allah saudaranya Pak En pun merasakan ada perubahan dari penderitaan sakitnya. Semoga saja perubahan itu menyebabkan dia menuju pada proses kesembuhan. Pertolonganku pada saudaranya Pak En hanya sebatas berdoa pada Allah dan mengobati saja, sedangkan kesembuhannya adalah hak mutlak Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Karena judul kisah nyata ini menceritakan tentang ilmu kebal, maka kisah tentang pengobatan pada saudaranya Pak En tidak aku uraikan lebih rinci. Itu semua semata-mata hanya untuk menghemat ruangan saja.

*****
Syahdan, akupun bersama Pak En pergi menuju rumah Pak Jn. Betul saja, ternyata kami tidak terlalu susah untuk menemui rumahnya.

“Assalaamu’alaikum….” aku memberi salam saat persis di depan rumah Pak Jn.

“Wa’alaikum salaaam…..” jawab seseorang dari dalam rumah Pak Jn.

“Oooooh….Pak Ferdi, Pak En…..monggo pak silahkan masuk….” sambut Pak Jn kepada kami dengan logat Surabaya-nya yang khas. Rupanya Pak Jn sudah menginformasikan akan kedatangan kami pada keluarganya, terbukti istrinya ikut menerima kami dan berbasa-basi seperti sudah saling kenal pada kami.

Aku dan Pak En segera duduk dikursi tamu setelah Pak Jn mempersilahkan kami untuk duduk. Tidak lama kemudian suguhan hidanganpun dikeluarkan oleh istrinya Pak Jn sambil meminta kami untuk segera mencicipi hidangan khas Surabaya.

“Gimana Pak Ferdi, apakah sudah selesai mengobati saudaranya Pak En…?” tanya Pak Jn membuka perbincangan.

“Alahmdulillah sudah selesai, makanya kami datang kerumah bapak untuk menunaikan janji kami pada bapak” jawabku. Pak Jn tersenyum kecil, seperti isyarat ikut gembira dengan pengobatan yang sudah aku lakukan pada saudaranya Pak En.

Saat sedang asyik2nya kami beramah tamah, tiba2 datanglah seorang lelaki masuk kerumah Pak Jn. Dia bertegur sapa dengan Pak Jn menggunakan bahasa Surabaya. Bila disimak dari pembicaraan mereka, sepertinya mereka sudah saling kenal lama. Mereka sangat akrab sekali.

Tanpa sengaja aku sekilas melihat dibalik baju tamu yang baru datang itu, dibelakang pinggang dia seperti ada terselip benda yang mirip dengan sebuah senjata. Sepertinya sebuah golok, hatiku menduga-duga.

“O..ya bapak2, kenalkan ini teman saya, adik seperguruan saya di perguruan X…(sebut saja begitu) ” lanjut Pak Jn memperkenalkan lelaki itu.

Kamipun bersalaman, saling mengenalkan diri masing2. Aku merasakan ada sedikit getaran yang tidak biasa, bahkan nyaris terasa aneh saat bersalaman dengan lelaki itu.

Lelaki itu bernama Shd, usianya aku perkirakan sekitar 35 tahun. Shd berpostur kurus, tinggi tapi kekar. Rambutnya agak gondrong sedikit. Dilihat dari raut wajahnya, nampaknya dia lelaki yang bertemperamen. Nada bicaranya terkesan sebagai orang yang sering mendapat perhatian dari orang lain. Setidaknya perasaan segan mungkin ada jika seseorang sedang berbicara dengan dia. Usia Pak Jn aku perkirakan sekitar 58 tahun, pantaslah bila Pak Jn menyebut Shd sebagai adik seperguruannya.

Sekian menit lamanya kamipun larut dalam obrolan2 yang membuat kami bertambah akrab. Ditengah-tengah kami larut dengan obrolan, Shd mengambil benda yang ditaruh dibelakang badannya. Betul saja dugaanku, ternyata benda itu adalah sebuah golok. Secara zhohir golok itu sangat indah, putih mengkilap dan tajam. Aku jadi teringat dengan golok2 yang dimiliki oleh para jawara2 seperti yang pernah aku lihat dalam film-film action Indonesia.

Setelah mengeluarkan golok dari sarungnya, Shd berdemontrasi. Dia bacok2 dan iris-iris tangannya dengan golok miliknya itu. Aku agak sedikit kagum sekaligus terheran-heran. Apa maksud Shd ini beratraksi demikian.

Golok yang membacok dan mengiris-iris tangannya itu tidak meninggalkan bekas, dia tidak luka sedikitpun. Shd ternyata punya ilmu kebal.

“Maaf pak, hati2 nanti tangan bapak bisa tembus….” sergahku dengan reflek.
Shd menghentikan atraksinya. Dia memandangku dengan mimik yang tidak bersahabat.

“Bapak jangan menganggap saya remeh ya….” jawab Shd dengan suara sedikit tinggi.

“Diperguruan kami atraksi yang seperti ini sudah tidak aneh lagi. Atraksi seperti ini sudah menjadi kegiatan setiap hari, bahkan yang lebih dari inipun sudah sering kami lakukan….” tambah Shd sedikit membagakan perguruannya sambil terus beratraksi dengan ilmu kebalnya.

“Jangan salah paham, saya tidak meremehkan bapak, saya sekedar mengingatkan saja agar bapak berhati-hati dengan golok itu….” naluriahku mendorong untuk menjawab seperti itu.

“Lho, emang kenapa?”

“Saya khawatir golok itu dapat menembus kulit bapak…” jelasku.

Shd tidak memperdulikan pada rasa kekhawatiranku, dia terus beratraksi dengan golok miliknya, bahkan kini lebih ekstrim lagi. Dia iris2 tengkuk lehernya, dia iris perutnya. Shd masih kebal. Aku pura2 tidak memperhatikan atraksinya itu. Sikap acuh tak acuhku itu hanya sekedar memberikan kesan bahwa aku tidak respek padanya. Aku tidak tertarik dengan atraksinya. Aku tidak tertarik pada ilmu kebalnya.

Benakku jadi berandai-andai. Ya, andaikan saja atraksinya Shd ini dilakukan dihadapan seseorang yang mempunyai ilmu dan kemampuan melebihi dari dia, lalu orang itu merasa tidak berkenan dihatinya dengan atraksi Shd, maka bukan tidak mungkin Shd akan “dikerjai” secara diam2 oleh orang yang memiliki kelebihan dari dia. Akibatnyapun tentu saja dapat diperkirakan: jebol pertahanan dia. Luntur ilmu kebalnya dia.

Sedang asyiknya aku berdiskusi dengan hatiku, tiba2 aku dikejutkan dengan pertanyaan Shd yang bernada sinis. Pertanyaan Shd seperti menyelidik tentang keberadaanku di Surabaya, khususnya tentang keberadaanku di rumahnya Pak Jn. Aku ingin menjawab pertanyaannya, tapi sudah didahului oleh penjelasan Pak Jn. Akupun mengurungkan menjawab pertanyaan Shd.

“Oh jadi bapak bisa mengobati orang sakit ya ? Sakit apa saja yang bisa bapak obati, belajarnya dengan siapa dan dimana tho pak….?” lanjut Shd dengan pertanyaan yang beruntun.

Aku jawab apa adanya, bahwa aku hanya bisa mengobati beberapa penyakit saja, bahkan itupun hanya sebatas mengobati dan berdoa saja, tidak lebih dari itu. Ayahku almarhum adalah guruku, sanad keguruanku bermuara pada Abah Syaki lalu ke Abah Toha.

“Jadi, sampeyan orang A.H ya….?” mimik Shd dengan sedikit membelalakan kedua matanya.

“Iya, betul…..” jawabku dengan jujur.

“Kalau begitu kebetulan pak…..”

“Maksudnya, kebetulan apa pak….?” tanyaku ingin tahu.

Shd lalu menjelaskan maksud pertanyaannya itu dengan sangat bersemangat. Dalam penjelasan Shd itu, telingaku sangat jelas menangkap bahwa dia, dan teman seperguruannya, gurunya bahkan mungkin seluruh orang yang belajar di perguruannya dia sangat antipati terhadap aku yang belajar keilmuan di A.H. Begitulah isyarat sensitifku yang aku dapati.

“Saya dan teman2 seperguran saya sangat tidak suka dengan keilmuan A.H….” ujar Shd dengan ketus yang membuat dugaanku mendekati benar.

“Sesuai dengan penjelasan dan arahan dari guru besar kami, bahwa kami diperintahkan untuk menghentikan langkah2 A.H yang kami anggap salah dan tidak benar….!” Shd semakin bersemangat saja disertai dengan vonis2nya yang ekstrim, vonis sepihak, khususnya padaku.

Shd bermaksud ingin mencabut dan menghilangkan semua keilmuan A.H yang sudah lama aku pelajari. Mendengar ucapan Shd yang disampaikan itu, dan tanpa ragu2 sedikitpun, posisiku seperti berada pada suatu sudut yang tidak punya pilihan lain kecuali hanya menyetujui saja dengan niatnya itu.

“Baik, kalau begitu tunggu sebentar. Saya ingin menelpon guru saya, dan meminta agar dia bisa datang ke sini !” Shd tambah semangat dengan niatnya. Aku belum mengerti maksud dan arti ucapan Shd yang akan meminta gurunya untuk datang kerumah Pak Jn.

Sekali lagi, aku hanya bisa menyetujui saja permintaan Shd agar aku mau menunggu kedatangan guru besarnya.

Shd lalu menelpon guru besarnya. Dia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Surabaya. Secara rinci aku tidak paham dan mengerti apa yang sudah mereka bicarakan. Namun secara global, aku agak sedikit memahami, bahwa intinya Shd meminta agar guru besarnya segera datang kerumah Jn karena ada orang yang akan menjadi obyek obsesinya terhadap keilmuan yang mereka anggap bertentangan, bersebrangan dengan keilmuan yang sudah mereka pelajari.

Selang beberapa menit setelah Shd menelpon guru besarnya, aku mendengar suara seseorang mengucapkan salam.

“Assalaaamu’alaikum…”

“Wa’alaikum salaaaam….” jawab kami berbarengan.

“Monggo Mbah….silahkan masuk….” pinta Pak Jn kepada seorang lelaki yang dipanggilnya dengan Mbah.
Lelaki yang dipanggil Mbah itu aku perikirakan usianya sekitar 77 tahun. Dia datang bersama seorang wanita, usianya aku perkirakan sekitar 45 tahun. Setelah mereka masuk dan duduk, Pak Jn memperkenalkan mereka kepada aku dan Pak En.

“Perkenalkan, ini Mbah Opg guru besar saya. Dan ini istri beliau, Ibu Sm….” begitu penjelasan Pak Jn pada kami. Pak Jn memberi informasi kepada kami, bahwa rumahnya Mbah Opg ini hanya berjarak tiga rumah saja dari rumahnya Pak Jn. Pantas saja, Mbah Opg dan istrinya ini sampai di rumahnya Pak Jn terbilang sangat cepat.

Kamipun bersalaman dan saling memperkenalkan diri masing2. Seperti halnya saat aku bersalaman dengan Shd, maka saat aku bersalaman dengan Mbah Opg pun aku merasakan lagi suatu getaran yang asing. Getaran yang mengindikasikan telah terisinya tubuh Mbah Opg dengan suatu aura keilmuan. Dari sekian kali aku berlatih getaran, lama2 aku jadi paham dengan beberapa jenis getaran2. Diantaranya getaran yang mengindikasikan seseorang itu berilmu atau tidak. Bila getaran yang aku rasakan itu berkategori baik, berarti orang itu mempunyai ilmu yang baik. Begitu juga bila getarannya berkategori tidak baik, berati orang itu mempunyai ilmu yang tidak baik pula. Semua itu hanya menurutku saja berdasarkan kebiasaan yang sering aku latih. Getaran yang aku rasakan dari tangannya Mbah Opg termasuk dalam kategori aura keilmuan yang jelek, ilmu yang salah bahkan mungkin sesat. Setidaknya begitulah menurut penafsiranku.

Mbah Opg mengambil tempat duduk persis didepanku. Dia keluarkan sebuah golok dari balik bajunya kemudian ditaruhnya di atas meja. Ibu Sm, istrinya masuk kedalam rumah untuk menemui istrinya Pak Jn. Dia memulai pembicaraan pada kami dengan obrolan santai, dia ceritakan kondisi kota Surabaya sesuai dengan apa yang bisa dilihat dan dirasa oleh panca indra. Sesekali dia selingi dengan obrolan lucu yang memancing tawa. Saat tertawa lebar, aku lihat gigi2nya Mbah Opg ternyata sudah banyak yang tanggal. Walaupun giginya sudah banyak yang ompong, tapi Mbah Opg tidak merasa rikuh sedikitpun. Kami merasakan keakraban sudah mulai merebak di dalam hati kami masing2.

Setelah puas dengan obrolan santainya, Mbah Opg beralih ke obrolan yang agak serius. Dia memilih topik obrolan tentang eksistensi dirinya dan perguruannya. Dia mengatakan, bahwa ilmu yang sudah dia miliki memang harus demikian, harus dicoba, bila perlu setiap hari beratraksi.

“Kawasan di sini kawasan yang keras, Pak. Itulah sebabnya mengapa kami senang memamerkan ilmu kebal kami kepada setiap orang yang kami jumpai….” ucapan Mbah Opg ini aku maknai mungkin karena Pak Shd sudah memberikan informasi tentang atraksinya yang aku larang.

Sepintas dalam pemahamanku, ucapan Mbah Opg ini terkesan membenarkan apa2 yang sudah dilakukan oleh Shd, muridnya.

Jujur saja, seandainya aku dibolehkan untuk memberikan pendapat terhadap uraian Mbah Opg itu, maka menurut hematku semua itu adalah cerminan dari orang yang sombong.

Sebenarnya aku sudah agak bosan mendengarkan ucapan2 Mbah Opg yang menceritakan kehebatan dan kelebihan ilmu kebalnya.

“Mohon maaf Mbah, saya pernah dengar dari orang2 bahwa ada sebuah pepatah bunyinya kurang lebih seperti inii: Dia atas langit masih ada langit…” kataku memotong uraian Mbah Opg.

“Apa maksud ucapan sampeyan….?” tanya Mbah Opg kepadaku dengan membelalakan kedua matanya.

“Untuk arti yang sebenarnya saya belum tahu persis…”

“Kalau begitu tolong jelaskan menurut pengertian sampeyan….!”

“Begini, saya mohon maaf ya Mbah kalau ucapan saya nanti tidak berkenan dihati Mbah dan hati2nya orang yang berada di rumah ini. Pepatah tadi menurut pengertian saya kurang lebih seperti ini: jika seseorang merasa hebat dan berilmu tinggi, sebaiknya dia rendah hati. Sebab diakui atau tidak, disadari atau tidak, karena sebenarnya masih ada orang lain yang mempunyai ilmu yang melebihi dari keilmuan orang itu…” jawabku yang membuat Mbah Opg merubah sedikit posisi duduknya.

“Nah, kalau saya diperkenankan untuk memberikan saran, sebaiknya ilmu kebal yang sudah Mbah dan murid2 mbah miliki itu tidak usah dipamer-pamerkan di depan orang lain. Menurut saya atraksi pamer itu tidak ada gunanya, karena terkesan sombong, dan hanya akan memancing orang lain untuk menjajalnya. Andaikan saja kita mau merenungi falsafah padi, tentu kita akan rendah hati, artinya semakin berisi, semakin merunduk…..”

Mendengar penjelasanku itu, ternyata membuat Mbah Opg, Pak Shd, Pak Jn dan Ibu Sm jadi emosi.
Dugaanku ini bukan cuma isapan jempol belaka, bukan pula su’uzhon (berprasangka tidak baik). Getar rasa sensitifkulah yang mengantarkan aku menduga demikian. Secara perlahan kini aku sudah merasakan adanya aura tidak baik, bahkan seperti tidak bersahabat.

Segera aku berdoa pada Allah Swt agar aku dan Pak En diberi keselamatan oleh Allah dari “arena” yang sudah tidak kondusif ini. Aura panas sudah mulai menyebar.

“Apakah orang yang seperti sampeyan maksudkan itu ada ? Siapa ? Dimana orangnya ?” tanya Mbah Opg seperti geram. Aku mencoba untuk tenang, tidak emosi.

“Jika dihubungkan dengan pepatah tadi, kemungkinan besar ada Mbah….apalagi bila mau dicari…”
“Kalau begitu, mari kita cari bersama, dan tolong tunjukkan orangnya….!” potong Pak Shd seperti tidak puas dengan jawabanku.

Belum sempat aku menjawab, dia lanjutkan lagi dengan pertanyaan:

“O ya, sampeyan tadi menjelaskan bahwa sampeyan sudah belajar keilmuan A.H, apakah sampeyan mau menjajal kami…?”

Aku tetap tenang, tidak mau terpancing oleh pertanyaan Pak Shd yang seperti menuduh.

“Saya tidak ada maksud sedikitpun untuk menjajal bapak2 semua…” jawabku datar untuk menurunkan ketegangan.

Mendengar jawabanku demikian, tidak membuat mereka jadi reda, bahkan justru seperti makin terbakar rasa penasaran dan emosinya. Aku mencoba untuk tetap tenang. Jujur saja, sebenarnya aku tidak mau melayani mereka yang kini mulai menunjukkan watak dan temperamennya masing2. Aku beranggapan bahwa bila aku menimpali perdebatan ini hanya akan membuang-buang energi saja, mubazir. Untuk meredam emosi mereka maka akupun menawarkan pada mereka agar perdebatan ini sebaiknya di hentikan saja, tapi pihak Mbah Opg tidak mau menerima usulan itu. Aku tetap didesak agar meneruskan perdebatan ini sampai ada salah satu pihak yang mau menerima “kekalahannya”.
Dengan segala resiko yang siap akan aku terima, aku putuskan tidak akan melayani dan merespon setiap pertanyaan dari mereka yang aku prediksi hanya akan menjadikan perdebatan ini semakin panas.

“Kalau sampeyan tidak mau melayani kami, sekarang kami ajak sampeyan untuk mengadu ilmu kita masing2……” ujar Pak Shd bernada nantang padaku.

“Saya belum paham maksud bapak….” jawabku hanya sekedar ingin tahu saja maksud ucapannya.

“Langsung saja pak, sekarang kita mencoba dan mengadu keilmuan kita masing2. Kita secara bergantian akan mencabut ilmu masing2. Teknisnya, pertama saya akan mencabut ilmu sampeyan, setelah itu sampeyan mencabut ilmu saya. Gimana, mau….?”

Oooo…rupanya inilah yang dimaksudkan oleh mereka sebagai “pihak yang menerima kekalahan”.

Aku tidak menjawab pertanyaan dan tantangan Pak Shd. Aku masih mencoba untuk tetap tenang, tidak emosi. Aku mencoba kilas balik maksud dari pertemuan ini, bukankah kedatanganku kesini karena kami diundang oleh Pak Jn untuk menambah persaudaraan agar lebih akrab lagi. Selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi ajang ukhuwah sesama muslim, lalu kenapa niat yang baik dan mulia ini harus diisi dengan arena mengadu keilmuan yang berujung pada saling mencabut ilmu?

Pak Shd yang didukung oleh Mbah Opg terus mencecar aku dengan pertanyaan dan tantangannya yang aku anggap seperti orang yang kebakaran jenggot. Disaat yang genting dan darurat seperti ini, tiba2 aku jadi teringat pada wejangan almarhum ayahku, guruku:

MUSUH JANGAN DICARI
BILA BERTEMU JANGAN LARI
LU JUAL, GUE BELI

Spontan aku menerima tantangan dari Pak Shd:

“Baik pak, bila keinginan bapak itu adalah jalan yang terbaik menurut bapak2, maka tidak ada pilihan lain bagi saya selain menerima tantangan bapak….” jawabku dengan intonasi lembut.

Akhirnya ajang pencabutan keilmuan kamipun disepakati dan siap dilakukan setelah mereka menerangkan teknisnya.

Sesi pertama, aku yang akan dicabut ilmunya oleh mereka. Sesuai arahan dari mereka, akupun duduk di lantai dengan menghadap kearah mereka. Setelah mereka selesai dalam konsentrasinya dan berdoa lalu:

“Hup…!” Pak Shd dengan action yang mantap mencabut ilmuku. Dia terpental dan terguling kebelakang.

Pencabutan pertama ini mungkin dianggap gagal oleh Pak Shd, lalu diapun bangun, mencoba cabut lagi ilmuku. Dia terpental lagi, terguling lagi kebelakang. Setelah tiga kali dia mengalami reaksi yang sama, seperti diberi komando, Pak Jn pun maju untuk mencabut ilmuku. Gagal. Reaksi yang didapati sama persis dengan reaksi yang dialami oleh Pak Shd. Setelah tiga kali gagal, akhirnya Mbah Opg yang turun tangan untuk mencabut ilmuku. Aku masih duduk di lantai, tenang, pasrah dan Tawakkal pada Allah Swt.

“Hup…!” Mbah Opg pun mengalami reaksi yang sama dengan kedua muridnya. Sama dengan para muridnya, Mbah Opg pun sudah tiga kali gagal untuk mencabut ilmuku. Rupanya mereka masih penasaran, akirnya merekapun melakukan kerjasama. Mereka mengeroyok aku. Mereka membentuk formasi, salah satu tangan mereka saling berpegangan, kemudian secara bersamaan mereka kembali mencoba mencabut ilmuku.

“Hup…!” reaksinya yang diterima tetap sama, mereka terpental dan terguling lagi kebelakang.

“Hugh….berat sekali pak, kami tidak bisa mencabut ilmu bapak….” ujar Pak Shd dengan nafas tersengal.

“Iya pak, berat dan susah sekali mencabutnya….” timpal Pak Jn dengan nafas yang tersengal pula.

Aku hanya percaya saja dengan pengakuan mereka. Aku beranggapan mereka jujur dengan pengakuannya. Aku membaca istighfar dan ta’wudz berulang kali. Aku khawatir sifat sombong dan ujub akan menyelinap kedalam hatiku.

Sekian menit berlalu, dan sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, lalu sesi keduapun dijalani: aku dipersilahkan oleh mereka untuk mencabut ilmu mereka. Aku menolak permintaan mereka.

“Kenapa, apakah sampeyan takut, tidak bisa…?” tanya Pak Shd.

“Bukan begitu, saya tidak ingin merusak jalinan silaturahmi kita ini….”

“O begitu, tapi bukan berarti sampeyan pecundang kan…?”

Aku terkejut, karena penolakanku itu malah ditafsirkan demikian.

“Bukankah kita tadi sudah sepakat, mengapa sekarang sampeyan tidak mau untuk mencabut ilmu kami ? Saya jadi curiga, jangan2 keilmuan A.H itu hanya aktif jika dikandang sendiri” ucapan Pak Shd yang didukung oleh Mbah Opg dan Pak Jn ini membuat aku jadi tambah ingat dengan wejangan almarhum ayahku, guruku.

MUSUH JANGAN DICARI
BILA BERTEMU JANGAN LARI
LU JUAL, GUE BELI

“Baik, karena bapak2 memaksa, sekarang saya akan coba untuk mencabut ilmu bapak2. Siapa yang pertama kali mau dicabut ?”

“Saya“ sahut Pak Shd dengan nada tinggi.

“Jangan, saya saja !” potong Mbah Opg seperti membanggakan dirinya sebagai seorang guru besar kedua muridnya itu.

Mbah Opg pun mengambil posisi seperti yang sudah aku lakukan saat tadi mereka mencoba cabut ilmuku. Aku konsentrasi sebentar lalu berdoa pada Allah Swt. Aku minta pada Allah agar dengan Kekuasaan-NYA, Ridho- NYA dan Ijin-NYA agar aku diberikan kemudahan untuk mencabut ilmu2 mereka sesuai dengan permintaan mereka.

Aku baca beberapa ayat2 Al Qur’an yang sudah aku hafal, aku pegang pundak Mbah Opg:

“Bismillaaah….” aku cabut ilmu kebal Mbah Opg. Dia bereaksi seperti orang yang bingung, wajahnya agak sedikit berubah.

“Sudah pak…?” tanya Mbah Opg kepadaku.

“Sudah….” jawabku.

“Cuma begitu aja….?”

“Ya….”

“Apakah sudah tercabut ilmu saya?” tanya Mbah Opg penasaran.

“Insya Allah sudah tercabut…”

“Saya tidak percaya, coba sekarang cabut ilmu saya….” pinta Pak Shd seperti menantang.

“Saya juga minta dicabut ilmu saya” kata Pak Jn.

Aku turuti permintaan mereka. Aku cabut ilmu mereka dengan cara seperti yang sudah aku lakukan terhadap Mbah Opg. Dan, seperti halnya Mbah Opg, merekapun bereaksi seperti yang dirasakan oleh guru besarnya itu.

“Saya tidak percaya, akan saya buktikan” ujar Pak Shd sambil mengambil golok miliknya dan mengeluarkan dari sarungnya.

“Maaf pak, jangan pakai golok !” sergahku.

“Emang kenapa? Saya tidak takut, pakai apapun saya tidak takut….silahkan sampeyan pilih, pakai golok ini apa pakai pisau ini?” jawab Pak Shd menantang sambil mengeluarkan pisau tajamnya yang berukuran sedang.

“Ya, pakai pisau itu aja pak….”

“Boleh !” jawab Pak Shd dengan mantap. Dia langsung ambil posisi duduk, kepalanya ditundukkan sedikit.

“Silahkan iris dan potong leher saya !” pintanya kepada Pak Jn tanpa ragu sedikitpun.
Pak Jn pun langsung mengiris lehernya Pak Shd, dan….

“Cres !” leher Pak Shd teriris, darah segar keluar dari bekas irisan pisaunya. Luka irisan itu sekitar sekitar 10 cm.

Melihat Pak Shd dalam kondisi demikian, semuanya panik, terutama Mbah Opg guru besarnya. Istri pak Jn teriak. Rumah Pak Jn jadi gaduh dengan suara2 kepanikan mereka. Para tetangga Pak Jn pun berdatangan, mereka ingin tahu penyebab kegaduhan. Darah segar masih keluar dari leher Pak Shd, wajahnya sekarang agak pucat.

Mbah Opg dan Pak Jn yang semula berniat pula untuk membuktikan tentang ilmu kebalnya yang aku jelaskan sudah hilang, akhirnya diurungkan setelah melihat kenyataan yang dialami oleh Pak Shd.

“Ada apa ini….?” tanya seorang anggota polisi yang kebetulan sedang lewat melintas di depan rumah Pak Jn.

“Anu pak, kecelakaan….” jawab istri Pak Jn sedikit gemetar.

“Kalau begitu cepat dibawa ke rumah sakit terdekat !” saran pak polisi dengan bijakasana.

Akhirnya, Pak Shd dengan diantar oleh Mbah Opg, Ibu Sm dan Pak Jn dibawa ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan sepeda motor.

*****
Setelah mereka pergi ke rumah sakit, waktu Ashar sudah masuk, aku ingin sholat. Istri Pak Jn memberi saran agar aku sholat Ashar dirumah dia saja. Akupun sholat Ashar berjamaah dengan Pak En dan keluarganya Pak Jn.

Selesai sholat aku dzikiran, membaca wirid yang sudah biasa aku lakukan. Selama wiridan aku jadi teringat pada Pak Shd, semoga luka sayatan di leher Pak Shd tidak parah, sehingga pihak rumah sakit tidak mengalami kesulitan untuk menangani dan mengobatinya, begitu doaku untuknya.

Belum selesai aku wiridan, Mbah Opg, Ibu Sm dan Pak Jn pun sudah kembali. Mereka mencari keberadaanku pada istri Pak Jn yang dijawabnya bahwa aku sedang berada dikamar yang dirancang untuk ruangan sholat.

“Assalaaamu’alaikum….” Mbah Opg memberi salam. Secara bersamaan aku dan Pak En menjawab salam dia.

“Bagaimana Mbah tentang penangan terhadap Pak Shd, apakah lancar2 saja…?”

“Semula memang agak sulit karena darah terus mengalir dari lehernya Shd, tapi para petugas medis bekerja dengan cekatan sehingga dapat ditangani dengn baik dan lancar. Shd mendapatkan 26 jahitan”

Hatiku berkata, andaikan saja Pak Jn saat mengiris lehernya Pak Shd tadi dia mengeluarkan tenaga yang agak keras sedikit, aku tidak bisa membayangkan resiko yang harus dialami oleh Pak Shd.
Saat aku masih merenung, tiba2 Mbah Opg bertanya yang membuat buyar semua lamunanku terhadp Pak Shd.

“Bagaimana ini pak, apakah benar ilmu kebal kami sudah tercabut semuanya…?” tanya Mbah Opg seperti belum percaya dengan kenyataan yang sudah dilihatnya.

“Insya Allah sudah Mbah….” jawabku.

“Termasuk ilmu kebal saya ?” tanya Pak Jn padaku.

“Ya, Insya Allah sudah tercabut….”

“Tolong kembalikan lagi ilmu kebal kami, pak…” pinta Mbah Opg.

“Mmmm….mohon maaf, saya tidak bisa Mbah…..”

“Pak, padahal ilmu itu saya dapatkan melalui ritual yang cukup berat. Saya puasa selama 41 hari tanpa putus seharipun, ditambah dengan dzikiran sekian ratus kali…..” lanjut Mbah Opg mengeluh.

“Itulah maksud saya Mbah, agar kita mengamalkan falsafah ilmu padi…..”

Mbah Opg dan Pak Jn tidak merespon ucapanku tadi, mungkin mereka masih terobsesi dengan kepemilikan ilmu kebalnya.

“Untuk mengembalikan ilmu kami itu apakah ada caranya….?” tanya Mbah Opg seperti orang awam yang baru pertama kali mempelajari suatu keilmuan, khususnya ilmu kebal.

“Jalan satu2nya Mbah mesti belajar lagi ke guru Mbah….”

Perbincangan kami yang diisi dengan diskusi diruang tempat sholat rumahnya Pak Jn cukup lama, dan berakhir ketika aku dan Pak En berpamitan. Sebelum aku pergi dari rumah Pak Jn, aku tidak lupa meminta maaf kepada mereka bila kunjungan kami tidak berkenan dihati mereka.

Aku berharap semoga bisa berjumpa lagi di lain kesempatan.

Saat aku berjalan mencari angkutan umum, tiba2 aku jadi teringat pada firman Allah Swt di dalam AL Qur’an surat Luqman ayat 18

وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin Ya Robbal’alamin.

*Kisah ini diceritakan secara langsung oleh Ust. Ahmad Ferdi Bin Ibrohim Ilyas kepada Ust. Djonaka Ahmad.